Senin, 24 Desember 2012

syirkah



a.  Pengertian Syirkah
Di dalam Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab karangan Miftahul Khairi.  Syirkah atau syarikah secara etimologis adalah percampuran atau kemitraan antara beberapa mitra, atau perseroan.
Syarik adalah anggota dalam perseroan bersama mitranya untuk suatu pekerjaan atau urusan sehingga semua anggota menjadi satu kesatuan.
Sedangkan Syarikah atau syirkah secara terminologis adalah per­serikatan dalam kepemilikan hak untuk melakukan tasharruf (pendayagunaan harta).
Demikian ini adalah definisi yang masih umum yang mencakup berbagai macam syirkah. Kalimat perserikatan dalam kepemilikan hak mencakup semua macam syirkah kepemilikan, baik sebab warisan, wasiat, hibah, harta rampasan perang, dan lain sebagainya. Kata tasharruf (pendayagunaan harta) mencakup semua macam syirkah transaksi, baik harta benda, badan, atau pelaksanaan kepangkatan.[1]
Sedangkan didalam kitab Fathul Qorib dinyatakan bahwa pengertian Syirkah, yaitu

فِى الشِّرْكَةِ وَهِىَ لُغَةً اْلاِخْتِلاَطُ وَشَرْعًاثُبُوْتُ اْلحَقِّ عَلَى جِهَةِ الشُّيُوْعِ فِى شَىْئٍ وَاحِدٍلاِثْنَيْنِ فَاَكْثَرَ.[2]

Yang mana, Arti “Syirkah menurut bahasa ialah “Campur”. Sedangkan menurut syarak Syirkah ialah tetapnya hak atas dasar memasukkan sesuatu yang satu untuk dua orang, bahkan bisa lebih banyak.”[3]
Jadi, Syirkah menurut bahasa adalah percampuran atau kemitraan antara beberapa mitra, atau perseroan. Sedangkan menurut istilah adalah per­serikatan dalam kepemilikan hak untuk melakukan tasharruf (pendayagunaan harta)

b.   Hukum Syar’i dan Dasar Syirkah
Di dalam Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab karangan Miftahul Khairi terdapat hukum syar’i dan dasar dari Syirkah. Dasar disyari'atkannya syirkah adalah al-Qur'an, hadits, ijma', dan logika.
·  Dasar dari al-Qur'an adalah firman Allah Ta'ala
(#þqèWyèö/$$sù,,,, ) Nà2yymr& öNä3Ï%ÍuqÎ/ ÿ¾ÍnÉ»yd n<Î) ÏpoYƒÏyJø9$# öÝàZuŠù=sù !$pkšr& 4x.ør& $YB$yèsÛ Nà6Ï?ù'uŠù=sù 5-ø̍Î/ çm÷YÏiB (
Artinya: “,,,,,, Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu” (QS: al-Kahfi [18]: 19)[4]
Hal ini karena al-waraq (uang perak) dalam ayat di atas adalah milik bersama bagi Ashhabul-Kahfi.

·  Dasar dari hadits
Banyak hadits yang menjelaskan tentang syirkah. Di antaranya dalam hadits yang bersumber dari as-Sa' ib ibnu Abi as-Sa' ib (menutip dalam Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab ) bahwa ia berkata kepada Nabi,

كُنْتَ شَرِيْكِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكُنْتَ خَيْرَ شَرِيْكٍ لاَ يُدَارِيْنِيْ وَلاَتُمَارِيْنِيْ

Dulu pada zaman Jahiliyah engkau menjadi mitraku. Engkau mitra yang paling baik, engkau tidak mengkhianatiku dan tidak membantahku.” (Riwayat Abu Dawud, (Nasa' i, dan al-Hakim, dan dia menshahih­kannya).

Hadis di atas menunjukkan disyari'atkannya syirkah karena Nabi SAW juga mempraktekkannya.[5]
Sedangkan di dalam kitab Fikih Islam Lengkap: Penjelasan Hukum-hukum Islam Madzhab Syafi’i karangan Dr. Musthafa Diib Al-Bugha, juga dijelaskan dasar dari hadis, bahwa Syarikah adalah bekerja sama dalam usaha atau kepemilikan terhadap sesuatu barang. Dasar hukum syarikah ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (3383) dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa sesungguhnya Allah berfirman,
يَكُوْلُ اللّهُ تَعَالىَ : أَنَا ثَالِثُ الشَرِيْكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أحَدُهُمَا صَاحِبَهُ, فَإذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا.
Allah yang Maha Agung berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berkongsi selama yang satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Apabila salah satunya mengkhianati yang lainnya, aku keluar dari dua orang itu.”

ثَالِثُ الشَرِيْكَيْنِ            Allah menyertai keduanya untuk menjaga dan menurunkan berkah dalam harta mereka
خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا        Allah mencabut keberkahan dari harta mereka. [6]

·  Dasar dari ijma'
Adalah bahwa kita telah melihat kaum muslimin mempraktekkan syirkah dalam perdagangan sejak abad pertama sampai saat ini, tanpa ada seorang pun yang menyangkalnya. Demikian ini adalah ijma’.

·  Dasar dari logika
Adalah bahwa manusia membutuhkan kerjasama syirkah. Karena itulah Islam melegalkannya. Di samping itu, karena melarang syirkah akan menyebabkan kesulitan bagi manusia. Islam tidak hanya membolehkan syirkah, tetapi lebih dari itu, Islam menganjurkannya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala
(#qäótGö/$#ur,,,) `ÏB È@ôÒsù «!$# (,,,
Artinya: “,,,, dan carilah karunia Allah,,,,” (QS: al-Jumu’ah [62]: 10).[7]
Yang menjadi dalil berlakunya Syarikat adalah sabda Rasulullah SAW:

يَكُوْلُ اللّهُ تَعَالىَ : أَنَا ثَالِثُ الشَرِيْكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أحَدُهُمَا صَاحِبَهُ, فَإذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا.

“Allah yang Maha Agung berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berkongsi selama yang satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Apabila salah satunya mengkhianati yang lainnya, aku keluar dari dua orang itu.”

Makna Hadis ini adalah bahwa Allah menghilangkan berkah dari harta mereka. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al-Hakim. Al-Hakim mengatakan Hadis ini shahih isnadnya.[8]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa syirkah itu diperbolehkan dan dari beberapa pendapat diatas menunjukkan disyari'atkannya syirkah karena Nabi SAW juga mempraktekkannya.
Di samping itu, jika ada larangan syirkah maka akan menyebabkan kesulitan bagi manusia. Islam tidak hanya membolehkan syirkah, tetapi lebih dari itu, Islam menganjurkannya.

c.    Hukum dari Transaksi
Selain hukum dan dasar dari Syarikah, juga terdapat pula hukum yang terdapat dalam transaksi Syirkah itu sendiri. Yaitu, di dalam Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab bahwa, mayoritas fuqaha' berpendapat bahwa transaksi syirkah adalah transaksi yang boleh, tidak wajib (mengikat). Ibnu Yunus dari kalangan Malikiyyah berpendapat bahwa syirkah wajib setelah terjadi transaksi dan masing-masing dari dua belah pihak tidak boleh menarik diri, seperti pada transaksi jual beli.
Maksud transaksi syirkah tidak wajib (mengikat) adalah bahwa masing-masing mitra syirkah boleh membatalkan kemitraannya kapan pun ia menghendaki meskipun tanpa kerelaan mitra yang lain. Hal ini karena transaksi syirkah merupakan wakalah (pemberian kuasa) masing-masing mitra kepada mitra lainnya, sedangkan wakalah adalah transaksi yang tidak wajib (mengikat).
Hanafiyyah berpendapat bahwa pembatalan dari kemitraan harus diketahui oleh mitra lainnya karena dapat merugikan mitra lainnya, sedangkan tindakan merugikan itu dilarang.[9]

d.   Batasan waktu dalam Syirkah
Mengutip dari Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab karangan Miftahul Khairi, bahwa memberi batasan waktu tertentu dalam transaksi syirkah itu boleh, karena ia termasuk pembelanjaan terhadap suatu jenis harta benda yang dapat dibatasi dengan waktu.
Oleh karena itu, pembatasan waktu syirkah, baik yang berlaku dalam fiqh Islam klasik maupun sistem yang dipraktekkarn pada zaman modern, boleh dan disyari'at­kan sehingga harus dijalankan sesuai yang ditetapkan.
Demikian ini sangat relevan dengan kondisi modern, khususnya bagi korporasi-korporasi besar yang bergerak dalam berbagai bidang pekerjaan yang tersebar di seluruh dunia. Hal ini tidak dapat dilakukan tanpa pembatasan waktu kontrak yang pasti karena jika seorang investor menghentikan kemitraannya dengan seenaknya, kapan dia mau, maka akan mendatangkan kerugian bagi investor yang menjadi mitranya dan bagi pihak yang berkecimpung dalam korporasi itu. Bahkan, akan berpengaruh negatif bagi perekonomian nasional.[10]
Maka dari itu, perlu adanya pemberian batasan waktu dalam syirkah.

e.  Rukun Syirkah
Adapun rukun dari Syirkah. Hanafiyyah berpendapat bahwa rukun syirkah hanya satu, yaitu shighah (ijab dan qabul) karena shighah-lah yang mewujudkan adanya transaksi syirkah.[11]

وَشُرِطَ فِيْهَ لَفْظٌ يَدُلُّ عَلَى اْلِذْنِ فِى التَّصَرُّفِ بِاْلبَيْحِ وَشِّرَاءِ قَلَوِاقْتَصَرَ عَلَى "اِشْتَرَكْنَا" لَمْ يَكْفِ عَنِ الْاِذْنِ فِيْهِ.[12]

“Untuk aqad Syirkah disyaratkan adanya lafadz yang menunjuk izin pentasarrufan baik penjualan maupun pembelian. Maka kalau hanya dengan “kami berserikat”, adalah belum cukup menunjukkan adanya izin mentasarrufkan.”[13] Adapun aqad yang disebutkan dalam buku Fiqih Sunnah 13 bahwasannya, Salah satu pihak berkata: “Aku bersyirkah denganmu untuk urusan ini atau itu”. Dan yang lain berkata: “telah aku terima”. [14]
Akan tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa rukun syirkah ada tiga, yaitu shighah, dua orang yang melakukan transaksi ('aqidan), dan objek yang ditransaksikan (al­ma'qud 'alaih).
a.    Shighah, yaitu ungkapan yang keluar dari masing-masing dari dua pihak yang bertransaksi yang menunjukkan kehendak untuk melaksanakannya. Shighah terdiri dari ijab dan qabul yang sah dengan semua hal yang menunjukkan maksud syirkah, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
b.    Aqidain, yaitu dua pihak yang melakukan transaksi. Syirkah tidak sah kecuali dengan adanya kedua pihak ini. Disyaratkan bagi keduanya adanya kelayakan melakukan transaksi (ahliyah al-'aqd), yaitu baligh, berakal, pandai, dan tidak dicekal untuk membelanjakan hartanya.
c.    Objek syirkah, yaitu modal pokok syirkah. Ini bisa berupa harta maupun pekerjaan. Modal pokok syirkah harus ada. Tidak boleh berupa harta yang terhutang atau harta yang tidak diketahui karena tidak dapat dijalankan sebagaimana yang menjadi tujuan syirkah, yaitu mendapat keuntungan.[15]

Manakala syarat sah perkara yang boleh disyirkahkan adalah objek, objek tersebut boleh dikelola bersama atau boleh diwakilkan.[16]
Maka rukun dari syirkah ada tiga yaitu Shighah, Aqidain, Objek syirkah.

f.     Syarat-Syarat Syirkah
Dr. Musthafa Diib Al-Bugha menjelaskan syarat-syarat dari Syirkah dalam kitab At-Tadzhib fi Adillat Matan Al-Ghayat wa At-Taqrib Al-Mansyur bi Matan Abi Syuja fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i.[17]

وَلِلشَّرِكَةِ خَمْسُ شَرَائِطَ : أنْ يَكُوْنَ عَلىَ نَاضٍّ مِنَ الدَّرَاهِمِ والدَّنَانِيْرِ , وَأنْ يَتَّفِقَا فىِ الجِنْسِ وَالنَّوْعِ , وَأَنْ يَخْلِطَا المَالَيْنِ , وَأَنْ يَأّذَنَ كلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَّا لِصَاحِبِهِ في التَّصَرُّفِ , وَأَنْ يَكُوْنَ الرِّبْحُ وَالْخُسْرَانُ عَلىَ قَدْرِ المَالَيْنِ .
وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَسْخُهَا مَتَى شَاءَ , وَمَتَى مَاتَ أَحَدُهُمَا بَطَلَتْ.

Dalam Fikih Islam Lengkap: Penjelasan Hukum-hukum Islam Madzhab Syafi’i dijelaskan bahwa,
Syarikah itu memiliki lima syarat:
1.    Ada barang berharga yang berupa dirham dan dinar.
2.    Modal dari kedua pihak yang terlibat syarikah harus sama jenis dan macamnya.
3.    Menggabungkan kedua harta yang dijadikan modal.
4.    Masing-masing pihak mengizinkan rekannya untuk menggunakan harta tersebut.
5.    Untung dan rugi menjadi tanggungan bersama

Masing-masing pihak bisa membatalkan syarikah kapan pun dia menghendaki. Jika salah satu pihak meninggal, maka syarikah ini batal.[18]
Dijelaskan dalam Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab bahwa terdapat syarat-syarat Syirkah dalam berbagai aspek. Ditinjau dari segi disepakati ulama madzhab fiqih dan tidaknya, syarat-syarat sah syirkah dibagi menjadi dua sebagaimana berikut ini.
Pertama, syarat-syarat syirkah yang disepakati ulama madzhab fiqih adalah sebagai berikut.
1.    Dua pihak yang melakukan transaksi mempunyai kecakapan/keahlian (ahliyah) untuk mewakilkan dan menerima perwakilan. Demikian ini dapat terwujud bila seseorang berstatus merdeka, baligh, dan pandai (rasyid). Hal ini karena masing-masing dari dua pihak itu posisinya sebagai mitra jika ditinjau dari segi andilnya sehingga ia menjadi wakil mitranya dalam membelanjakan harta.
2.    Modal syirkah diketahui
3.    Modal syirkah ada pada saat transaksi
4.    Besarnya keuntungan diketahui dengan penjumlahan yang berlaku, seperti setengah dan lain sebagainya

Kedua, syarat-syarat syirkah yang diperselisihkan adalah sebagai berikut.
1.    Menurut Syafi'iyyah, modal syirkah berasal dari barang yang ada padanannya, yakni barang yang dapat ditakar atau ditimbang. Selain itu, juga harus berupa barang yang boleh dijualbelikan dengan salam seperti emas dan perak. Madzhab-madzhab lain tidak mensyaratkan demikian. Bahkan, Hanafiyyah dan salah satu riwayat dari Hanabilah menyebutkan bahwa modal syirkah harus berupa nilai (harga), bukan barang, meskipun dapat ditakar dan ditimbang. Adapun Malikiyyah dan riwayat lain dari Hanabilah berpendapat bahwa modal syirkah tidak disyaratkan berupa barang mitsl (yang dapat ditakar dan ditimbang), tetapi boleh selain barang mitsl.
2.    Syafi'iyyah mensyaratkan bahwa untuk keabsahan syirkah, dua harta harus tercampur, tetapi fuqaha' tidak mensyaratkan hal itu.
3.    Malikiyyah dan Syafi'iyyah mensyaratkan bahwa dalam pembagian keuntungan ditentukan persentase modal seorang mitra yang diinvestasikan dari keseluruhan modal syirkah. Berbeda dengan Hanaf­iyyah dan Hanabilah yang berpendapat bahwa pembagian keuntungan boleh didasarkan pada kesepakatan para rnitra.

Adapun syarat-syarat yang dibuat sebagai aturan main dalam syirkah dibagi menjadi dua sebagai berikut.
Pertama, syarat-syarat yang sah dalam syirkah, yaitu syarat yang tidak menyebabkan kerugian bagi para mitra, dan keabsahan transaksi tidak tergantung dengannya. Misalnya, tidak boleh berdagang kecuali jenis barang dagangan tertentu atau di tempat tertentu, seperti di Riyadh. Syarat seperti ini sah karena tidak merugikan.
Kedua, syarat-syarat yang rusak, yaitu syarat yang merugikan para mitra syirkah. Syarat-syarat ini terbagi dalam tiga macam berikut.
1.  Syarat mengenai keuntungan yang tidak diketahui, seperti mensyaratkan keuntungan salah satu dari dua perjalanan dagang yang dilakukan, atau mensyaratkan jumlah tertentu. Syarat demikian ini rusak yang dapat membatalkan syirkah karena dapat menyebabkan tidak diketahuinya hak masing-masing mitra untuk mendapatkan keuntungan. Bahkan, dapat menghilangkan hak mereka sama sekali, yang pada gilirannva akan menyebabkan perselisihan dan pertikaian.
2. Sesuatu yang tidak sesuai dengan konsekuensi transaksi, seperti jika seseorang mensyaratkan adanya keterikatan permanen dalam syirkah, atau tidak boleh menjual kecuali lama dengan harta pembeliain dan melarang membatalkan keanggotaan yang pada dasarnya diperbolehkan. Demikian ini syarat yang rusak karena menyimpang dari tujuan syirkah, yaitu mencari keuntungan.
3.  Mensyaratkan sesuatu yang tidak termasuk kemaslahatan transaksi, seperti mensyaratkan ikut menanggung jika harta rusak atau jika kerugian lebih dari modal, dan lain sebagainya. Demikian ini syarat yang rusak, namun tidak membatalkan transaksi syirkah.[19]

g.    Macam-Macam syirkah
Ulama’ Fiqih membagi Syirkah dalam 2 macam:
1.    Syirkah Amlak (perserikatan dalam pemilihan)
2.    Syirkah ‘Uqud (perserikatan berdasarkan suatu akad).

1. Syirkah Amlak
Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Syirkah Amlak menurut ulama fiqh adalah dua orang atau lebih memiliki harta bersama tanpa melalui akad syirkah,[20] atau transaksi Syirkah.[21] Syirkah dalam kategori ini terbagi menjadi dua bentuk:
a.    Syirkah ikhtiyar (sukarela), yaitu syirkah yang lahir atas kehendak dua orang yang bersekutu. Contohnya:  dua orang yang mengadakan kongsi untuk membeli suatu barang, atau dua orang mendapatkan hibah atau wasiat, dan keduanya menerimanya, sehingga keduanya menjadi sekutu dalam hak milik.
b.    Syirkah jabar (paksa), yaitu persekutuan yang terjadi diantara dua orang atau lebih tanpa sekehendak mereka. Seperti dua orang yang mendapatkan sebuah warisan, sehingga barang yang diwariskan tersebut menjadi hak milik kedua orang yang bersangkutan.
Hukum kedua syirkah ini adalah masing-masing sekutu bagaikan pihak asing atas sekutunya yang lain. Sehingga, salah satu pihak tidak berhak melakukan tindakan apapun terhadap harta tersebut tanpa izin dari yang lain, karena masing-masing sekutu tidak memiliki kekuasaan atas bagian saudaranya.[22]
Dalam kedua bentuk syirkah al-amlak, menurut para ahli fiqh, status harta masing-masing orang yang berserikat, sesuai dengan hak masing-masing, bersifat berdiri sendiri secara hukum. Apabila masing-masing ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada ijin dari mitranya, karena seseorang tidak memiliki kekuasaan atas bagian harta orang yang menjadi mitra serikatnya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-amlak ini di bahas oleh ulama fiqh secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah, dan wakaf.[23]

2. Syirkah `Uqud
Syirkah al-`Uqud. Adalah syirkah yang akadnya disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungan.
Ulama fikih berbeda pendapat tentang bentuk-bentuk serikat yang termasuk dalam syirkah al-`uqud ini. Ulama Mazhab Hanbali membaginya dalam lima bentuk, yaitu:
1)   Syirkah al-'Inan (penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak harus sama jumlahnya)
2)   Syirkah al-Mufawadah (perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerja sama yang mereka lakukan baik kualitas dan kuantitasnya harus sama dan keuntungan dibagi rata)
3)   Syirkah al-Abdan (perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama)
4)   Syirkah al-Wujuh (perserikatan tanpa modal)
5)   Syirkah al-Mudarabah (bentuk kerja sama antara pemilik modal dan seseorang yang punya keahlian dagang, dan keuntungan perdagangan dari modal itu dibagi bersama).
Ulama Mazhab Maliki dan Syafi'i membagi bentuk-bentuk syirkah al- `uqud menjadi empat ben­tuk, yaitu: syirkah al-'inan, syirkah al-mufawadah, syirkah al-abdan, dan syirkah al-wujuh. Sedangkan syirkah al-mudarabah, yang dikemukakan oleh ulama Mazhab Hanbali, mereka tolak sebagai syirkah.
Ulama Mazhab Hanafi membagi syirkah kepada tiga bentuk. yaitu: syirkah al-amwal (perserikatan dalam modafharta), syirkah al-'amal (perserikatan dalam kerja), dan syirkah al-wujuh (perserikatan tanpa modal). Menurut mereka, ketiga bentuk perserikatan ini bisa masuk kategori al- 'inan dan bisa juga al-mufawadah.
Jadi dari keseluruhan, Ulama fikih mengemukakan hukum masing-­masing perserikatan yang termasuk dalam kategori syirkah al-'uqud tersebut, sebagai berikut.         

a.    Syirkah `inan
Yaitu perserikatan dalam modal (harta) dalam suatu perdagangan yang di­lakukan dua orang atau lebih dan keuntungan dibagi bersama. Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa bentuk perserikatan seperti ini adalah boleh.
Dalam perserikatan al-`inan ini, modal yang digabungkan oleh masing-masing pihak tidak harus sama jum­lahnya, tetapi boleh satu pihak memiliki modal yang lebih besar dari pihak lainnya. Demikian juga halnya dalam soal tanggung jawab dan kerja. Boleh saja satu pihak bertanggung jawab penuh terhadap per­serikatan itu, sedangkan pihak lain tidak bertanggung jawab. Keuntungan dari perserikatan ini dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan kerugian yang diderita menjadi tanggung jawab orang-orang yang berserikat sesuai dengan persentase modal saham masing-masing. Dalam hal ini ulama fikih membuat kaidah, "Keuntungan dibagi sesuai kese­pakatan dan kerugian sesuai dengan modal masing-­masing pihak.". [24]
Syarat-syarat keabsahanya:
o  Hendaknya syarikat dilakukan sesama kaum muslim
o  Besarnya modal dan bagian para sekutu harus diketahui
o  Keuntungan harus dibagi berdasarkan jumlah saham
o  Jika sahamnya berupa uang, namun ada seseorang mempunyai komoditi ingin ikut dalam syirkah, maka komoditinya dihargai dengan uang sesuai dengan harga pada hari itu, karena komoditi itu tidak diketahui dan berinteraksi dengan sesuatu yang tidak diketahui nilainya itu dilarang syariat karena menyebabkan penyianyiaan hak dan memakan harta manusia dengan batil.
o  Pekerjaan harus diatur sesuai dengan banyak tidaknya saham sama seperti dalam pembagian keuntungan dan kerugian.
o  Syarikah menjadi batal jika ada salah satu orang sekutu meninggal dunia.[25] [26]
Didalam kitab karangan Syaikh ‘Ali Ahmad Al Jurjawi dikatakan bahwa, setelah Rasulullah SAW diutus menjadi rasul, kala itu masyarakat sudah mempraktekkan syirkah jenis ini, namun Rasulullah SAW tidak pernah melarang dan mengingkari apa yang mereka lakukan itu. Padahal pengakuan seperti ini adalah merupakan salah satu dalil dari sunah. Karena akad-akad ini memang dilakukan untuk kemaslahatan manusia pada setiap masa dan di setiap tempat lantaran kebutuhan mereka untuk mengembangkan hartanya.[27]

b.   Syirkah Mufawadhah
Menurut bahasa, syirkah ini dinamakan syirkah mufawadhah karena adanya persamaan dalam modal, keuntungan, pengelolaan harta, dan lain-lain. Dalam al-Hidaayah disebutkan, “karena syirkah ini adalah kerjasama dalam semua jenis perdagangan, dimana masing-masing pihak menyerahkan urusan syirkah secara penuh kepada pihak lain”.[28]
Sedangkan menurut istilah yaitu perserikatan dua orang atau lebih pada suatu objek, dengan syarat masing-masing pihak memasukkan modal yang sama jumlahnya, serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama, sehingga masing-masing pihak dapat bertindak hukum atas nama orang-orang yang berserikat tersebut.
Dalam perserikatan ini, menurut ulama Mazhab Hanafi dan Zaidiah, tidak diboleh­kan modal salah satu pihak lebih besar dari pihak lain, dan keuntungan untuk satu pihak lebih besar dari keuntungan yang diterima mitra serikatnya. Demikian juga dalam masalah kerja. Masing-masing pihak harus sama-sama bekerja, tidak boleh salah satu pihak bebeda dan pihak lainnya tidak bekerja.
Ulama fikih menyatakan bahwa yang menjadi unsur penting dalam perserikatan ini adalah, baik dalam masalah modal, kerja, maupun keuntungan, masing-­masing pihak yang mengikatkan diri dalam perserikatan ini mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Apabila modal, kerja, dan keuntungan masing-masing pihak berbeda, maka menurut mereka, perserikatan ini berubah menjadi perseri­katan al-'inan.
Oleh sebab itu, dalam perserikatan al-mufawadah, jika salah satu pihak yang berserikat melakukan suatu transaksi untuk perserikatan, se­telah melakukan musyawarah dengan mitra serikat­nya, maka transaksi itu sah, karena ketika itu ia bertindak atas nama orang-orang yang berserikat dan merupakan wakil dari pihak lainnya.
Unsur terpenting dalam bertindak hukum terhadap harta serikat adalah bahwa masing-masing pihak hanya boleh melakukan suatu transaksi apabila mendapat persetujuan dari pihak lain. Apabila salah seorang melakukan tindakan hukum tanpa persetujuan pihak lain, maka transaksi tersebut tidak sah. Terhadap hukum bentuk perserikatan ini terdapat perbedaan pendapat ulama fikih.
Ulama Mazhab Hanafi dan Zaidiah menyatakan bentuk perserikatan seperti ini dibolehkan. Alasan yang mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah SAW: “Jika kamu melaksanakan mufawadah, maka lakukanlah dengan cara yang baik... dan lakukanlah mufawadah, karena akad seperti ini membawa berkah” (HR. Ibnu Majah).
Dalam hadis lain di­katakan: “Tiga (bentuk usaha) yang mengandung berkat, yaitu: jual beli yang pembayarannya bisa ditunda, mufawadah. dan mencampur gandum dengan jelai (untuk dimakan) bukan untuk diper­jual belikan” (HR. Ibnu Majah).
Selanjutnya, ulama Mazhab Hanafi dan Zaidiah menyatakan bahwa perserikatan seperti ini telah memasyarakat di seluruh wilayah Islam dan tidak seorang ulama pun yang mengingkarinya. Akan tetapi, ulama Mazhab Maliki tidak mem­bolehkan bentuk perserikatan al-mufawadah seperti yang dipahami oleh ulama Mazhab Hanafi dan Zaidiah di atas. Menurut mereka, perserikatan al­-mufawadah bisa diangap sah apabila masing-masing pihak yang berserikat dapat bertindak hukum secara mutlak dan mandiri terhadap modal kerja, tanpa minta izin dan musyawarah dengan mitra serikatnya, baik mitra serikat itu berdua di tempat maupun sedang di luar kota. Apabila salah satu pihak me­lakukan suatu transaksi, maka ia tidak perlu minta persetujuan mitra serikatnya dan mitra serikatnya itu terikat dengan transaksi yang telah dibuat tersebut. Apabila masing-masing pihak yang berserikat tidak bebas melakukan transaksi, maka perserikatan ini sama dengan perserikatan al-'inan, bukan lagi per­serikatan al-mufawadah.
Ulama Mazhab Syafi'i dan Hanbali menilai bahwa bentuk serikat al-mufawadah seperti yang dikemukakan ulama Mazhab Hanafi dan Zaidiah di atas tidak boleh, karena sulit untuk menentukan prinsip kesamaan modal, kerja, dan keuntungan dalam perserikatan tersebut, di samping tidak satu dalil sahih pun yang membolehkan bentuk per­serikatan seperti itu. Adapun hadis yang dijadikan dasar oleh ulama Mazhab Hanafi dan Zaidiah untuk mendukung keabsahan perserikatan al-mufawadah yang mereka kemukakan adalah hadis daif (lemah), karena tidak ada indikasi yang mendukung bahwa hadis itu terkait dengan syirkah al-mufawadah yang mereka kemukakan. Akan tetapi. mereka mem­bolehkan syirkah al-mufawadah dalam pengertian yang dikemukakan ulama Mazhab Maliki.[29]
Adapun syarat-syarat dari Syirkah Mufawadhah:
1.    Semua anggota syirkah mempunyai kecakapan melalui transaksi kafalah (jaminan)
2.    Persamaan dalam jumlah modal
3.    Anggota syirkah mufawadah tidak boleh memiliki harta selain harta syirkah
4.    Syirkah bergerak dalam bidang perdagangan pada umumnya
5.    Dilakukan dengan lafal mufawadah atau sesuatu yang dapat menggantikannya sesuai dengan maksud.
Jika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, syirkah tersebut menjadi syirkah ‘inan karena mufawadah mengandung ‘inan dan ziyadah.[30]

c.    Syirkah abdan
Yaitu perserikatan yang dilaksanakan oleh dua pihak untuk menerima suatu pekerjaan, seperti pandai besi, memperbaiki alat-alat elektronik, binatu, dan tukang jahit. Hasil atau imbalan yang diterima dari pekerjaan itu dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan mereka berdua. Terhadap boleh atau tidaknya bentuk perserikatan ini pun diperselisihkan ulama fikih.
Menurut ulama Mazhab Maliki, Hanafi, Hanbali, dan Zaidiah hukumnya boleh, karena tujuan utama perserikatan ini adalah mencari keuntungan dengan modal kerja bersama. Alasan mereka adalah riwayat dari Ibnu Mas'ud, Ammar, dan Sa'd. Ketiga sahabat ini melakukan suatu perserikatan dalam Perang Badr (tahun ke-2 H) untuk bekerja sama mendapatkan harta rampasan perang. Ibnu Mas'ud mengatakan, "Saya dan Ammar tidak mendapatkan apa-apa, sedangkan Sa'd mendapatkannya. Ketika itu Rasulullah SAW tidak mengingkari perserikatan kami itu" (HR. Abu Dawud, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu Ubaidah).
Namun, ulama Mazhab Maliki mengajukan satu syarat untuk keabsahan perserikatan ini, yaitu bahwa kerja yang dilakukan oleh orang yang berserikat ini harus sejenis, satu tempat, serta hasil yang diperoleh dibagi menurut kuantitas kerja masing-masing.
Misalnya, perse­rikatan dalam menjahit baju orang atau menerima upah jahitan. Masing-masing pihak harus menger­jakan bagian pekerjaan yang terkait dengan pen­jahitan baju tersebut; sekalipun jenis yang dikerjakan tidak sama. Misalnya. satu orang menggunting baju sesuai ukuran pemesan dan satu orang lagi men­jahitnya. Sekalipun berbeda jenis pekerjaan yang dikerjakan masing-masing pihak, namun pekerjaan itu masih dalam rangka menyelesaikan penjahitan baju tersebut.
Menurut ulama Mazhab Syafi'i, Syiah Imamiah, dan Zufar bin Hudail (ahli fikih Mazhab Hanafi), perserikatan seperti ini hukumnya tidak sah, karena yang menjadi objek perserikatan adalah harta/modal, bukan kerja. Di samping itu, kerja yang dilakukan dalam perserikatan ini tidak dapat diukur, sehingga membawa kemungkinan terjadinya penipuan dan pada akhirnya membawa kepada perselisihan.[31]
Hukum-hukumnya:
o  Masing-masing dari sekutu berhak meminta gaji dan menerimanya dari pihak yang mengontrak.
o  Jika salah satu dari dua sekutu sakit atau berhalangan dari kerja karena udhur syar`i, maka apa yang diperoleh sekutu lainya tetap dibagi bersama keduanya.
o  Jika salah satu dari kedua sekutu absen kerja dan sakit hingga waktu yang lain, maka sekutu yang sehat berhak menunjuk orang lain sebagai pengganti sekutu yang berhalangan tersebut, kemudian gajinya tetap menjadi jatah sekutu yang sakit atau sekutu yang absen tersebut.
o  Jika salah satu dari kedua berhalangan hadir, maka sekutu satunya berhak membatalkan syarikah.[32] [33]

d.   Syirkah Wujuh
Ialah dua orang atau lebih bersekutu membeli dan menjual suatu barang dengan jabatan keduanya, dan keuntungan dibagi kepada keduanya. Jika ada kerugian, maka dibagi antara keduanya seperti halnya pembagian keuntungan.[34] [35]
Sedangkan di dalam Ensiklopedi Hukum Islam diterangkan bahwa syirkah wujuh yaitu serikat yang dilakukan dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali, dan mereka melakukan suatu pembelian dengan kredit serta menjualnya dengan harga kontan; sedangkan keuntungan yang diperoleh dibagi bersama.
Di zaman sekarang, perserikatan ini mirip makelar dan banyak dilakukan orang. Dalam per­serikatan seperti ini, pihak yang berserikat membeli barang secara kredit, hanya atas dasar suatu kepercayaan, kemudian barang yang mereka kredit itu mereka jual dengan harga tunai, sehingga mereka meraih keuntungan. Hukum perserikatan seperti ini pun diperselisihkan ulama fikih.
Ulama Mazhab Hanafi, Hanbali, dan Zaidiah menyatakan bahwa perserikatan seperti ini hukum­nya boleh, karena dalam perserikatan ini masing­-masing pihak bertindak sebagai wakil dari pihak lain, sehingga pihak lain itu pun terikat pada transaksi yang sudah dilakukan mitra serikatnya. Di samping itu, perserikatan seperti ini banyak dilakukan orang di berbagai wilayah Islam, dan tidak ada ulama fikih yang menentangnya.
Akan tetapi, menurut ulama Mazhab Maliki, Syafi'i, az-Zahiri dan Syiah Imamiah, perserikat­an seperti ini tidak sah dan tidak dibolehkan. Alasan mereka adalah objek perserikatan itu adalah modal dan kerja, sedangkan dalam serikat al-wujuh tidak demikiam baik modal maupun kerja dalam perse­rikatan ini tidak jelas. Modal orang-orang yang mengikatkan diri dalam syirkah al-wujuh tidak ada, bentuk kerjanya pun tidak jelas. Oleh sebab itu, tran­saksi seperti ini termasuk transaksi terhadap sesuatu yang tidak ada (al-ma'dum) yang dilarang oleh syarak.[36]
Selain itu di dalam Ensiklopedi Fiqih Muamalah juga dijelaskan bahwa pendapat yang valid yaitu boleh mengadakan syirkah wujuh yang mendasarkan pada pekerjaan, yaitu jual beli dan tidak mengandung unsur gharar. Pekerjaan yang masih bersifat spekulatif tidak menghalangi keabsahan syirkah karena pekerjaan dalam semua jenis syirkah tidak diketahui dan bersifat spekulatif. Yang penting pembagian keuntungannya telah diketahui. Kaum muslimin juga telah mempraktekkan syirkah seperti ini karena mengandung kemaslahatan bagi individu dan masyarakat, sedangkan islam sendiri menganjurkan kaum muslimin supaya menjaga kemaslahatan.[37]
Adapun hikmah dan manfaat dari jenis syirkah ini, yaitu dapat mengangkat kemiskinan dari orang-orang fakir serta dapat menyebabkan orang-orang kaya mendapat pahala. Dengan begitu, kefakiran akan jauh dari keduanya, sebab-sebab penghidupan pun menjadi terpenuhi oleh keduanya.[38]

e.    Syirkah mudarabah
Yaitu persetujuan antara pemilik modal dari seorang pekerja untuk mengelola uang dari pemilik modal dalam perdagangan tertentu, yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Sedangkan kerugian yang diderita menjadi tanggung jawab pemilik modal saja.
Menurut ulama Mazhab Hanbali, yang meng­anggap al-mudarabah termasuk salah satu bentuk perserikatan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam perserikatan ini.
Syarat-syarat ter­sebut adalah:
a.    Pihak-pihak yang berserikat cakap bertindak sebagai wakil
b.    Modalnya berbentuk uang tunai
c.    Jumlah modal jelas
d.   Diserahkan langsung kepada pekerja (pengelola) dagang itu setelah akad disetujui
e.    Pembagian keuntungan dinyatakan secara jelas pada waktu akad
f.     Pembagian keuntungan diambilkan dari hasil perserikatan itu, bukan dari harta lain.
Penentuan jumlah bagian untu pekerja dari laba yang dihasilkan ada di tangan kedua belah pihak. Seandainya pemilik modal berkata kepada si pekerja “berniagalah dengan uang ini dan keuntungannya kita bagi bersama”, maka setiap pihak mendapatkan setengan dari laba. Akan tetapi jika pemilik modal berkata kepada pekerja, “berniagalah dengan harta ini dan bagian saya adalah tiga perempat (3/4) atau sepertiga (1/3) dari labanya”, atau “berniagalah dengannya, dan untukmu tiga perempat (3/4) atau sepertiga (1/3) dari labanya.” Maka, akad mudharabah tersebut sah dengan semua ini, karena dengan diketahuinya bagian salah satu pihak, maka ia pun mendapatkan bagiannya tersebut, dan sisanya adalah untuk pihak yang lain, karena labanya adalah milik mereka berdua.[39]
Jumhur ulama (Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, az-Zahiri, dan Syiah Imamiah) tidak memasukkan transaksi al-mudarabah sebagai salah satu bentuk perserikatan, karena al-mudarabah merupakan akad tersendiri dalam bentuk kerja sama lain, dan tidak dinamakan dengan perserikatan.[40]
Akan tetapi di dalam Ensiklopedi Fiqih Muamalah fuqaha’ sepakat diperbolehkannya syirkah mudharaah. Kebolehan ini juga berdasarkan ijma’ yang disandarkan kepada ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi SAW. Disamping itu, umat manusia sangat membutuhkannya karena tidak semua orang yang mempunyai harta memiliki keahlian dalam mendayagunakan dan mengembangkan hartanya. Begitu pula sebaliknya, tidak semua orang yang mampu mengembangkan harta dan melakukan pekerjaan mempunyai modal. Dengan demikian, eksistensi syirkah mudharabah dapat merealisasikan kemaslahatan kedua belah pihak.[41]

h.   Macam-Macam Syirkah di Era Modern
Syirkah (perusahaan) terbagi dari sisi pembentukanya kepada dua bagian yaitu, perusahaan perorangan dan perusahaan permodalan/kapital.
1.    Perusahaan perorangan, yaitu yang nampak didalamnya pribadi-pribadi saat pembentukannya, sekira yang dijadikan ukuran adalah pribadi yang bersangkutan.
·  Macam-macam perusahaan perorangan
a.    Perusahaan patungan, yaitu perusahaan dimana dua orang atau lebih melakukan kesepakatan akad untuk tujuan perniagaan dan didalamnya terdapat seluruh orang yang bersekutu di mana mereka melakukan komitmen kerja sama mengenai seluruh peraturan perusahaan di dalam harta, yang bersifat umum dan khusus.
b.    Perusahaan patungan terbatas, yaitu perusahaan dimana satu orang atau lebih melakukan kesepakatan disatu sisi dan mereka bertanggung jawab secara bersama-sama di dalam seluruh harta mereka tersebut dari utang-utang perusahaan dan administrasi perusahaan. Mereka dijuluki dengan pelaku persekutuan bersama. Perusahaan patungan terbatas juga dapat terlaksana dengan adanya satu orang yang bersekutu atau lebih dimana mereka pemilik bagian-bagian tertentu dari asset perusahaan yang ada dan mereka tidak meminta keuntungan kecuali sesuai dengan ukuran bagian harta masing-masing dan mereka tidak masuk ke dalam administrasi perusahaan dan mereka di juluki dengan pelaku perusahaan patungan.
c.    Perusahaan join swasta, yaitu perusahaan yang dilakukan oleh orang-orang yang bersekutu saja dimana tidak ada wujud bagi sosok lainya. Barangsiapa melakukan kesepakatan dari orang-orang yang bersekutu di dalam perusahaan join swasta ini dengan orang lain, maka hanya pihak-pihak yang melakukan kerjasama itulah yang bertanggung jawab sementara keuntungan dan kerugian dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan.[42]
2.    Perusahaan permodalan/kapital, yaitu perusahaan yang unsur pribadinya tidak penting. Sesungguhnya unsur yang paling urgent (penting) adalah harta/uang dalam mengeksploitasi perusahaan.
·  Macam-macam perusahaan kapital
a.    Perusahaan perorangan dengan modal bersama, yaitu perusahaan yang didalamnya di bagi pembagian modalnya kedalam saham-saham yang memiliki nilai sama dan masing-masing penanam modal memiliki sejumlah saham.
b.    Perusahaan patungan dengan saham, yaitu perusahaan yang mirip dengan perusahaan patungan terbatas karena didalamnya terdapat dua unsure pelaku persekutuan yaitu pelaku persekutuan bersama dan pelaku persekutuan patungan dimana mereka tidak meminta penghasilan kecuali sesuai dengan bagian harta mereka yang ada dan mirip dengan perusahaan patungan karena pembagian porsi modal mereka dibagi dalam bentuk saham.
c.    Perusahaan Perseorangan  Terbatas (PT), yaitu perusahaan yang memiliki karakter persekutuan, akan tetapi ia memiliki perbedaan bahwa perseorangan terbatas menghilangkan banyak aturan perusahaan patungan dan yang tersisa adalah tangung jawab orang-orang yang bersekutu didalamnya yang tebatas dengan jumlah modal yang mereka miliki.
Di sana terdapat jenis perusahaan lain yang memadukan antara karakter perusahaan sipil dengan perusahaan perniagaan. Diistilahkan dengan perusahaan sipil yang berbentuk perniagaan. Hal seperti ini apabila perusahaan sipil mengambil salah satu bentuk perusahaan dagang seperti perusahaan patungan atau perseorangan terbatas.
Seluruh jenis perusahaan modern di atas sah hukumnya sebeb yang di jadikan dasar bahwa prinsip dasar muamalat adalah hukum boleh. [43]

i.      Pencatatan Transaksi Syirkah
Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab menerangkan bahwa pencatatan transaksi syirkah dianjurkan karena sebagai dokumentasi, tindakan preventif, dan upaya untuk menghindari pertikaian dan perpecahan di antara anggota-anggota syirkah. Demikian ini dalam rangka menambah kepercayaan. Dalam undang-undang modern, penulisan transaksi syirkah merupakan keharusan formal. Adapun dalam undang-undang syirkah Saudi penulisan adalah suatu kewajiban sehingga jika tidak ada dokumen tertulis, seseorang tidak boleh mengklaim sebagai anggota syirkah di hadapan orang lain.
Ketika kontrol agama terhadap pribadi semakin melemah, dan para penjahat semakin kaya strategi, pendapat yang mewajibkan adanya dokumentasi tercatat dalam transaksi syirkah merupakan hal yang relevan dalam upaya merealisasikan kemaslahatan dan sebagai bentuk antisipasi terhadap timbulnya kejahatan. Namun demikian, pencatatan bukan termasuk rukun syirkah karena rukun adalah bagian dari substansi sesuatu (syirkah), sedangkan pencatatan bukanlah bagian dari substansinya, tetapi merupakan sesuatu di luar substansi transaksi.[44]

j.     Berakhirnya Akad Syirkah
Ulama fikih mengemukakan beberapa hal yang dapat mem­batalkan atau menunjukkan berakhirnya akad syirkah secara umum, di samping ada juga hal-hal khusus yang menjadi penyebab batal/berakhimya masing-masing bentuk perserikatan.
Hal-hal yang membatalkan atau menyebabkan berakhirnya suatu akad perserikatan secara umum adalah sebagai berikut.
a.    Salah satu pihak meng­undurkan diri, karena menurut para ahli fikih, akad perserikatan itu tidak bersifat mengikat, dalam artian boleh dibatalkan.
b.    Salah satu pihak yang ber­serikat meninggal dunia.
c.    Salah satu pihak ke­hilangan kecakapannya bertindak hukum, seperti gila yang sulit disembuhkan.
d.   Salah satu pihak murtad (keluar dari agama Islam) dan melarikan diri ke negeri yang berperang dengan negeri muslim; karena orang seperti ini dianggap sebagai sudah wafat.
Kemudian ulama fikih juga mengemukakan hal­-hal yang membuat berakhirnya akad perserikatan secara khusus, jika dilihat dari bentuk perserikatan yang dilakukan, yaitu sebagai berikut.
a.    Dalam syirkah al-amwal, akad perserikatan dinyatakan batal apabila semua atau sebagian modal perse­rikatan hilang, karena objek dalam perserikatan ini adalah harta. Dengan hilangnya harta perserikatan, berarti perserikatan itu bubar.
b.    Dalam syirkah al­-mufawadah, modal masing-masing pihak tidak sama kuantitasnya, karena al-mufawadah itu sendiri berarti persamaan, baik dalam modal, kerja, maupun ke­untungan yang dibagi.[45]


Disebutkan dalam referensi lain bahwa, Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
a.    Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya, sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela antar kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukkan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak
b.    Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian mengelola harta) baik karena gila atau karena alasan lainnya
c.    Salah satu pihak meninngal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus pada anggota-anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota yang meninngal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
d.   Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampunan, baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab yang lainnya.
e.    Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Mahdzab Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Hanafi berpendapat bahwa keadaan bangkrut itu tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan
f.     Modal anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga masih dapat dipisah-pisahkan lagi, maka yang menanggung resiko adalah pemiliknya sendiri. Apabila harta lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa dipisah-pisahkan lagi, maka menjadi resiko bersama. Kerusakan yang terjadi setelah dibelanjakan, menjadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa harta, syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.[46]


[1] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet. 1. Hlm. 261-262
[2] Samsudin Abi Abdillah Muhammad bin Qosim al-Ghozy. Fathul Qorib al-Mujib. (Surabaya). Hlm. 210
[3] Drs. H. Imron Abu Amar. Fathul Qarib. (Kudus: Menara Kudus). Jld. 1. Hlm. 266-267
[4] Al Quran Surat Al Kahfi [18] ayat 19
[5] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet. 1. Hlm. 262-264
[6] Dr. Musthafa Diib Al-Bugha. Fikih Islam Lengkap: Penjelasan Hukum-hukum Islam Madzhab Syafi’i. (Solo: Media Zikir), Cet 1
[7] Opcit. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. Hlm. 264
[8] Imam Taqiyuddin Abubakar Bin Muhammad Alhusaini. Kifayatul Akhyar. (Surabaya: CV Bina Iman). Hlm. 629-630
[9] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet. 1. Hlm. 268-269
[10] Ibid. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. Hlm. 268-269
[11] Ibid. Hlm. 264
[12] Zainuddin Abdul Aziz Malibaari. Fathul Mu’in. (Haramain, 2006). Cet 1. Hlm. 80
[13] Drs. H. Aliy As’ad. Fathul Mu’in. (Kudus: Menara Kudus), Jld. 2. Hlm. 281
[14] Sayyid, Sabiq, Fiqih Sunnah 13, (Bandung, Pustaka percetakan offset,1987) hlm.176
[15] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet. 1. Hlm. 264-265
[17] Dr. Musthafa Diib Al-Bugha. At-Tadzhib fi Adillat Matan Al-Ghayat wa At-Taqrib Al-Mansyur bi Matan Abi Syuja fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i. Surabaya. Hlm. 135-136
[18] Dr. Musthafa Diib Al-Bugha. Fikih Islam Lengkap: Penjelasan Hukum-hukum Islam Madzhab Syafi’i. (Solo: Media Zikir), Cet 1
[19] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet. 1. Hlm. 265-268
[20] Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Cet 1. Hlm. 1711
[21] Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011). Hlm. 442
[22] Ibid. Fiqih Islam 5. Hlm. 443
[23] Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Cet 1. Hlm. 1712
[24] Ibid. Ensiklopedi Hukum Islam. Hlm. 1712
[25]  Fadhli Bahri, Lc. Ensiklopedi Muslim. (Jakarta: Darul Falah, 2000). Cet 1. Hlm. 516-517
[26] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri. Minhajul Muslim: Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim. (Surakarta: Insan Kamil, 2009). Cet 1. Hlm. 645-646
[27] Syaikh ‘Ali Ahmad Al Jurjawi. Hikmah dibalik Hhukum Islam: Bidang Muamalah. (Jakarta: Mustaqiim, 2003). Cet 1. Hlm. 194
[28] Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011). Hlm. 445
[29] Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Cet 1. Hlm. 1712-1713
[30] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet. 1. Hlm. 281
[31]  Opcit Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Cet 1. Hlm. 1713
[32] Fadhli Bahri, Lc. Ensiklopedi Muslim. (Jakarta: Darul Falah, 2000). Cet 1. Hlm. 517-518
[33] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri. Minhajul Muslim: Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim. (Surakarta: Insan Kamil, 2009). Cet 1. Hlm. 646-647
[34] Opcit. Ensiklopedi Muslim. (Jakarta: Darul Falah, 2000). Cet 1. Hlm. 518
[35] Opcit. Minhajul Muslim: Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim. Hlm. 647
[36] Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Cet 1. Hlm. 1714
[37] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet. 1. Hlm. 285
[38] Syaikh ‘Ali Ahmad Al Jurjawi. Hikmah dibalik Hhukum Islam: Bidang Muamalah. (Jakarta: Mustaqiim, 2003). Cet 1. Hlm. 195
[39] Saleh Al-Fauzan. Fiqih Sehari-Hari. (Jakarta: Gema Insani, 2005). Hlm. 469
[40] Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Cet 1. Hlm. 1714
[41] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet. 1. Hlm. 287
[42] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam,  Thaudhih Al ahkam min Bulugh Al Maram: Syarah Bulughul Maram, (Jakarta, Putaka Azzam,2006). Jld. 4. Hlm.567
[43]  Ibid.  Thaudhih Al ahkam min Bulugh Al Maram: Syarah Bulughul Maram.  Hlm.567
[44] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet. 1. Hlm. 270
[45] Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Cet 1. Hlm. 1715

1 komentar:

  1. Ainsworth's new casino - JTM Hub
    The 부산광역 출장마사지 resort recently unveiled a brand new tower, 서귀포 출장샵 named 제천 출장안마 the Casino Tower, and it boasts a total 삼척 출장마사지 of 1,800 slots, 8 table 남양주 출장샵 games, a 24/7

    BalasHapus