a. Pengertian Syirkah
Di dalam Ensiklopedi
Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab karangan Miftahul Khairi.
Syirkah atau syarikah secara etimologis adalah percampuran atau
kemitraan antara beberapa mitra, atau perseroan.
Syarik adalah anggota dalam perseroan bersama mitranya untuk suatu
pekerjaan atau urusan sehingga semua anggota menjadi satu kesatuan.
Sedangkan Syarikah atau syirkah secara terminologis adalah perserikatan
dalam kepemilikan hak untuk melakukan tasharruf (pendayagunaan harta).
Demikian ini adalah definisi yang masih umum yang mencakup berbagai
macam syirkah. Kalimat perserikatan dalam kepemilikan hak mencakup semua macam
syirkah kepemilikan, baik sebab warisan, wasiat, hibah, harta rampasan perang,
dan lain sebagainya. Kata tasharruf (pendayagunaan harta) mencakup semua macam
syirkah transaksi, baik harta benda, badan, atau pelaksanaan kepangkatan.[1]
Sedangkan didalam kitab Fathul Qorib dinyatakan bahwa pengertian
Syirkah, yaitu
فِى الشِّرْكَةِ
وَهِىَ لُغَةً اْلاِخْتِلاَطُ وَشَرْعًاثُبُوْتُ اْلحَقِّ عَلَى جِهَةِ
الشُّيُوْعِ فِى شَىْئٍ وَاحِدٍلاِثْنَيْنِ فَاَكْثَرَ.[2]
Yang mana, Arti “Syirkah menurut bahasa ialah “Campur”. Sedangkan
menurut syarak Syirkah ialah tetapnya hak atas dasar memasukkan sesuatu yang
satu untuk dua orang, bahkan bisa lebih banyak.”[3]
Jadi, Syirkah menurut bahasa adalah percampuran atau kemitraan
antara beberapa mitra, atau perseroan. Sedangkan menurut istilah adalah perserikatan
dalam kepemilikan hak untuk melakukan tasharruf (pendayagunaan harta)
b. Hukum Syar’i dan Dasar Syirkah
Di dalam Ensiklopedi
Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab karangan
Miftahul Khairi terdapat hukum syar’i dan dasar dari Syirkah. Dasar
disyari'atkannya syirkah adalah al-Qur'an, hadits, ijma', dan logika.
· Dasar dari al-Qur'an adalah firman Allah Ta'ala
(#þqèWyèö/$$sù,,,, )
Nà2y‰ymr& öNä3Ï%Í‘uqÎ/ ÿ¾ÍnÉ‹»yd ’n<Î) ÏpoYƒÏ‰yJø9$# öÝàZuŠù=sù !$pkš‰r& 4‘x.ø—r& $YB$yèsÛ Nà6Ï?ù'uŠù=sù 5-ø—ÌÎ/ çm÷YÏiB (
Artinya: “,,,,,, Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk
pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah
makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu” (QS:
al-Kahfi [18]: 19)[4]
Hal ini karena al-waraq (uang perak) dalam ayat
di atas adalah milik bersama bagi Ashhabul-Kahfi.
· Dasar dari hadits
Banyak hadits yang menjelaskan tentang syirkah.
Di antaranya dalam hadits yang bersumber dari as-Sa' ib ibnu Abi as-Sa' ib (menutip
dalam Ensiklopedi
Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab ) bahwa ia berkata kepada Nabi,
كُنْتَ شَرِيْكِي فِي
الْجَاهِلِيَّةِ فَكُنْتَ خَيْرَ شَرِيْكٍ لاَ يُدَارِيْنِيْ وَلاَتُمَارِيْنِيْ
“Dulu pada zaman Jahiliyah engkau
menjadi mitraku. Engkau mitra yang paling baik, engkau tidak mengkhianatiku dan
tidak membantahku.” (Riwayat Abu Dawud, (Nasa' i, dan al-Hakim, dan dia
menshahihkannya).
Sedangkan di dalam kitab Fikih Islam
Lengkap: Penjelasan Hukum-hukum Islam Madzhab Syafi’i karangan Dr. Musthafa
Diib Al-Bugha, juga dijelaskan dasar dari hadis, bahwa Syarikah adalah bekerja
sama dalam usaha atau kepemilikan terhadap sesuatu barang. Dasar hukum syarikah
ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (3383) dari Abu
Hurairah, dia berkata bahwa sesungguhnya Allah berfirman,
يَكُوْلُ اللّهُ
تَعَالىَ : أَنَا ثَالِثُ الشَرِيْكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أحَدُهُمَا صَاحِبَهُ,
فَإذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا.
“Allah yang Maha Agung
berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berkongsi selama yang
satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Apabila salah satunya mengkhianati
yang lainnya, aku keluar dari dua orang itu.”

· Dasar dari ijma'
Adalah bahwa kita telah melihat kaum muslimin
mempraktekkan syirkah dalam perdagangan sejak abad pertama sampai saat
ini, tanpa ada seorang pun yang menyangkalnya. Demikian ini adalah ijma’.
· Dasar dari logika
Adalah bahwa manusia membutuhkan kerjasama syirkah.
Karena itulah Islam melegalkannya. Di samping itu, karena melarang syirkah
akan menyebabkan kesulitan bagi manusia. Islam tidak hanya membolehkan syirkah,
tetapi lebih dari itu, Islam menganjurkannya. Hal ini sebagaimana firman Allah
Ta'ala
(#qäótGö/$#ur,,,)
`ÏB È@ôÒsù «!$# (,,,
Artinya: “,,,, dan carilah karunia Allah,,,,”
(QS: al-Jumu’ah [62]: 10).[7]
Yang menjadi dalil berlakunya Syarikat adalah
sabda Rasulullah SAW:
يَكُوْلُ اللّهُ
تَعَالىَ : أَنَا ثَالِثُ الشَرِيْكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أحَدُهُمَا صَاحِبَهُ,
فَإذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا.
“Allah yang Maha Agung berfirman: Aku adalah
pihak ketiga dari dua orang yang berkongsi selama yang satunya tidak
mengkhianati yang lainnya. Apabila salah satunya mengkhianati yang lainnya, aku
keluar dari dua orang itu.”
Makna Hadis ini adalah bahwa Allah menghilangkan
berkah dari harta mereka. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud dan
Al-Hakim. Al-Hakim mengatakan Hadis ini shahih isnadnya.[8]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa syirkah itu
diperbolehkan dan dari beberapa pendapat diatas menunjukkan disyari'atkannya
syirkah karena Nabi SAW juga mempraktekkannya.
Di samping itu, jika ada larangan syirkah maka akan
menyebabkan kesulitan bagi manusia. Islam tidak hanya membolehkan syirkah,
tetapi lebih dari itu, Islam menganjurkannya.
c. Hukum dari Transaksi
Selain hukum dan dasar dari Syarikah, juga
terdapat pula hukum yang terdapat dalam transaksi Syirkah itu sendiri. Yaitu, di
dalam Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab bahwa, mayoritas
fuqaha' berpendapat bahwa transaksi syirkah adalah transaksi yang boleh, tidak
wajib (mengikat). Ibnu Yunus dari kalangan Malikiyyah berpendapat bahwa syirkah
wajib setelah terjadi transaksi dan masing-masing dari dua belah pihak tidak
boleh menarik diri, seperti pada transaksi jual beli.
Maksud transaksi syirkah tidak wajib (mengikat)
adalah bahwa masing-masing mitra syirkah boleh membatalkan kemitraannya
kapan pun ia menghendaki meskipun tanpa kerelaan mitra yang lain. Hal ini
karena transaksi syirkah merupakan wakalah (pemberian kuasa)
masing-masing mitra kepada mitra lainnya, sedangkan wakalah adalah
transaksi yang tidak wajib (mengikat).
Hanafiyyah berpendapat bahwa pembatalan dari
kemitraan harus diketahui oleh mitra lainnya karena dapat merugikan mitra
lainnya, sedangkan tindakan merugikan itu dilarang.[9]
d. Batasan waktu dalam Syirkah
Mengutip dari Ensiklopedi Fiqih Muamalah
dalam Pandangan 4 Madzhab karangan Miftahul Khairi, bahwa memberi batasan
waktu tertentu dalam transaksi syirkah itu boleh, karena ia termasuk
pembelanjaan terhadap suatu jenis harta benda yang dapat dibatasi dengan waktu.
Oleh karena itu, pembatasan waktu syirkah,
baik yang berlaku dalam fiqh Islam klasik maupun sistem yang dipraktekkarn pada
zaman modern, boleh dan disyari'atkan sehingga harus dijalankan sesuai yang
ditetapkan.
Demikian ini sangat relevan dengan kondisi
modern, khususnya bagi korporasi-korporasi besar yang bergerak dalam berbagai
bidang pekerjaan yang tersebar di seluruh dunia. Hal ini tidak dapat dilakukan
tanpa pembatasan waktu kontrak yang pasti karena jika seorang investor
menghentikan kemitraannya dengan seenaknya, kapan dia mau, maka akan
mendatangkan kerugian bagi investor yang menjadi mitranya dan bagi pihak yang
berkecimpung dalam korporasi itu. Bahkan, akan berpengaruh negatif bagi
perekonomian nasional.[10]
Maka dari itu, perlu adanya pemberian batasan
waktu dalam syirkah.
e.
Rukun
Syirkah
Adapun rukun dari Syirkah. Hanafiyyah
berpendapat bahwa rukun syirkah hanya satu, yaitu shighah (ijab dan qabul)
karena shighah-lah yang mewujudkan adanya transaksi syirkah.[11]
وَشُرِطَ فِيْهَ
لَفْظٌ يَدُلُّ عَلَى اْلِذْنِ فِى التَّصَرُّفِ بِاْلبَيْحِ وَشِّرَاءِ
قَلَوِاقْتَصَرَ عَلَى "اِشْتَرَكْنَا" لَمْ يَكْفِ عَنِ الْاِذْنِ
فِيْهِ.[12]
“Untuk aqad Syirkah disyaratkan adanya lafadz
yang menunjuk izin pentasarrufan baik penjualan maupun pembelian. Maka kalau
hanya dengan “kami berserikat”, adalah belum cukup menunjukkan adanya izin
mentasarrufkan.”[13] Adapun aqad yang disebutkan dalam buku Fiqih
Sunnah 13 bahwasannya, Salah satu pihak berkata: “Aku bersyirkah denganmu untuk urusan ini atau itu”. Dan yang lain berkata: “telah aku terima”. [14]
Akan tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa
rukun syirkah ada tiga, yaitu shighah, dua orang yang melakukan
transaksi ('aqidan), dan objek yang ditransaksikan (alma'qud
'alaih).
a.
Shighah, yaitu ungkapan yang keluar dari masing-masing dari dua pihak
yang bertransaksi yang menunjukkan kehendak untuk melaksanakannya. Shighah
terdiri dari ijab dan qabul yang sah dengan semua hal yang
menunjukkan maksud syirkah, baik berupa ucapan
maupun perbuatan.
b.
Aqidain, yaitu dua pihak yang melakukan transaksi. Syirkah tidak
sah kecuali dengan adanya kedua pihak ini. Disyaratkan bagi keduanya adanya
kelayakan melakukan transaksi (ahliyah al-'aqd), yaitu baligh, berakal, pandai, dan tidak dicekal untuk membelanjakan
hartanya.
c.
Objek syirkah, yaitu modal pokok syirkah. Ini bisa berupa harta maupun pekerjaan. Modal pokok syirkah harus ada. Tidak boleh berupa harta yang terhutang atau
harta yang tidak diketahui karena tidak dapat dijalankan sebagaimana yang
menjadi tujuan syirkah, yaitu mendapat keuntungan.[15]
Manakala syarat sah perkara yang boleh
disyirkahkan adalah objek, objek tersebut boleh dikelola bersama atau boleh diwakilkan.[16]
Maka rukun dari syirkah ada tiga yaitu Shighah,
Aqidain, Objek syirkah.
f.
Syarat-Syarat
Syirkah
Dr. Musthafa Diib Al-Bugha menjelaskan
syarat-syarat dari Syirkah dalam kitab At-Tadzhib fi Adillat Matan Al-Ghayat wa At-Taqrib
Al-Mansyur bi Matan Abi Syuja fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i.[17]
وَلِلشَّرِكَةِ
خَمْسُ شَرَائِطَ : أنْ يَكُوْنَ عَلىَ نَاضٍّ مِنَ الدَّرَاهِمِ والدَّنَانِيْرِ
, وَأنْ يَتَّفِقَا فىِ الجِنْسِ وَالنَّوْعِ , وَأَنْ يَخْلِطَا المَالَيْنِ ,
وَأَنْ يَأّذَنَ كلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَّا لِصَاحِبِهِ في التَّصَرُّفِ , وَأَنْ
يَكُوْنَ الرِّبْحُ وَالْخُسْرَانُ عَلىَ قَدْرِ المَالَيْنِ .
وَلِكُلِّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَسْخُهَا مَتَى شَاءَ , وَمَتَى مَاتَ أَحَدُهُمَا بَطَلَتْ.
Dalam Fikih Islam Lengkap: Penjelasan
Hukum-hukum Islam Madzhab Syafi’i dijelaskan bahwa,
Syarikah itu memiliki lima syarat:
1.
Ada barang berharga yang berupa dirham dan dinar.
2.
Modal dari kedua pihak yang terlibat syarikah harus sama jenis dan
macamnya.
3.
Menggabungkan kedua harta yang dijadikan modal.
4.
Masing-masing pihak mengizinkan rekannya untuk menggunakan harta
tersebut.
5.
Untung dan rugi menjadi tanggungan bersama
Masing-masing pihak bisa membatalkan syarikah
kapan pun dia menghendaki. Jika salah satu pihak meninggal, maka syarikah ini
batal.[18]
Dijelaskan dalam Ensiklopedi Fiqih Muamalah
dalam Pandangan 4 Madzhab bahwa terdapat syarat-syarat Syirkah dalam
berbagai aspek. Ditinjau dari segi
disepakati ulama madzhab fiqih dan tidaknya, syarat-syarat sah syirkah dibagi menjadi dua sebagaimana berikut
ini.
Pertama, syarat-syarat syirkah yang disepakati ulama madzhab fiqih adalah
sebagai berikut.
1.
Dua pihak yang melakukan transaksi mempunyai kecakapan/keahlian (ahliyah)
untuk mewakilkan dan menerima perwakilan. Demikian ini dapat terwujud bila
seseorang berstatus merdeka, baligh, dan pandai (rasyid). Hal ini karena
masing-masing dari dua pihak itu posisinya sebagai mitra jika ditinjau dari
segi andilnya sehingga ia menjadi wakil mitranya dalam membelanjakan harta.
2.
Modal syirkah diketahui
3.
Modal syirkah ada pada saat transaksi
4.
Besarnya keuntungan diketahui dengan penjumlahan yang berlaku, seperti
setengah dan lain sebagainya
Kedua, syarat-syarat syirkah yang diperselisihkan adalah sebagai
berikut.
1.
Menurut Syafi'iyyah, modal syirkah berasal dari barang yang ada
padanannya, yakni barang yang dapat ditakar atau ditimbang. Selain itu, juga
harus berupa barang yang boleh dijualbelikan dengan salam seperti emas dan
perak. Madzhab-madzhab lain tidak mensyaratkan demikian. Bahkan, Hanafiyyah dan
salah satu riwayat dari Hanabilah menyebutkan bahwa modal syirkah harus
berupa nilai (harga), bukan barang, meskipun dapat ditakar dan ditimbang.
Adapun Malikiyyah dan riwayat lain dari Hanabilah berpendapat bahwa modal syirkah
tidak disyaratkan berupa barang mitsl (yang dapat ditakar dan ditimbang),
tetapi boleh selain barang mitsl.
2.
Syafi'iyyah mensyaratkan bahwa untuk keabsahan syirkah, dua harta
harus tercampur, tetapi fuqaha' tidak mensyaratkan hal itu.
3. Malikiyyah dan Syafi'iyyah mensyaratkan bahwa
dalam pembagian keuntungan ditentukan persentase modal seorang mitra yang
diinvestasikan dari keseluruhan modal syirkah. Berbeda dengan Hanafiyyah
dan Hanabilah yang berpendapat bahwa pembagian keuntungan boleh didasarkan pada
kesepakatan para rnitra.
Adapun syarat-syarat yang dibuat sebagai
aturan main dalam syirkah dibagi menjadi dua sebagai berikut.
Pertama, syarat-syarat yang sah dalam syirkah, yaitu syarat yang tidak
menyebabkan kerugian bagi para mitra, dan keabsahan transaksi tidak tergantung
dengannya. Misalnya, tidak boleh berdagang kecuali jenis barang dagangan
tertentu atau di tempat tertentu, seperti di Riyadh. Syarat seperti ini sah
karena tidak merugikan.
Kedua, syarat-syarat yang rusak, yaitu syarat yang merugikan para mitra syirkah.
Syarat-syarat ini terbagi dalam tiga macam berikut.
1. Syarat
mengenai keuntungan yang tidak diketahui, seperti mensyaratkan keuntungan salah
satu dari dua perjalanan dagang yang dilakukan, atau mensyaratkan jumlah
tertentu. Syarat demikian ini rusak yang dapat membatalkan syirkah karena dapat menyebabkan tidak diketahuinya hak
masing-masing mitra untuk mendapatkan keuntungan. Bahkan, dapat menghilangkan
hak mereka sama sekali, yang pada gilirannva akan menyebabkan perselisihan dan
pertikaian.
2. Sesuatu yang tidak sesuai dengan konsekuensi
transaksi, seperti jika seseorang mensyaratkan adanya keterikatan permanen
dalam syirkah, atau tidak boleh menjual kecuali lama dengan harta pembeliain
dan melarang membatalkan keanggotaan yang pada dasarnya diperbolehkan. Demikian
ini syarat yang rusak karena menyimpang dari tujuan syirkah, yaitu
mencari keuntungan.
3. Mensyaratkan
sesuatu yang tidak termasuk kemaslahatan transaksi, seperti mensyaratkan ikut
menanggung jika harta rusak atau jika kerugian lebih dari modal, dan lain
sebagainya. Demikian ini syarat yang rusak, namun tidak membatalkan transaksi syirkah.[19]
g. Macam-Macam syirkah
Ulama’ Fiqih membagi Syirkah dalam 2 macam:
1.
Syirkah Amlak (perserikatan dalam pemilihan)
2.
Syirkah ‘Uqud (perserikatan berdasarkan suatu akad).
1.
Syirkah Amlak
Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam,
Syirkah Amlak menurut ulama fiqh adalah dua orang atau lebih memiliki harta
bersama tanpa melalui akad syirkah,[20] atau transaksi Syirkah.[21] Syirkah dalam kategori ini terbagi menjadi dua
bentuk:
a.
Syirkah ikhtiyar (sukarela), yaitu syirkah yang lahir atas kehendak dua orang yang bersekutu.
Contohnya: dua orang yang mengadakan
kongsi untuk membeli suatu barang, atau dua orang mendapatkan hibah atau
wasiat, dan keduanya menerimanya, sehingga keduanya menjadi sekutu dalam hak
milik.
b.
Syirkah jabar (paksa), yaitu persekutuan yang terjadi diantara dua orang atau lebih tanpa
sekehendak mereka. Seperti dua orang yang mendapatkan sebuah warisan, sehingga
barang yang diwariskan tersebut menjadi hak milik kedua orang yang bersangkutan.
Hukum kedua syirkah ini adalah masing-masing
sekutu bagaikan pihak asing atas sekutunya yang lain. Sehingga, salah satu
pihak tidak berhak melakukan tindakan apapun terhadap harta tersebut tanpa izin
dari yang lain, karena masing-masing sekutu tidak memiliki kekuasaan atas
bagian saudaranya.[22]
Dalam kedua bentuk syirkah al-amlak, menurut
para ahli fiqh, status harta masing-masing orang yang berserikat, sesuai dengan
hak masing-masing, bersifat berdiri sendiri secara hukum. Apabila masing-masing
ingin bertindak hukum terhadap harta serikat itu, harus ada ijin dari mitranya,
karena seseorang tidak memiliki kekuasaan atas bagian harta orang yang menjadi
mitra serikatnya. Hukum yang terkait dengan syirkah al-amlak ini di bahas oleh
ulama fiqh secara luas dalam bab wasiat, waris, hibah, dan wakaf.[23]
2.
Syirkah `Uqud
Syirkah al-`Uqud. Adalah syirkah
yang akadnya disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam
perserikatan modal dan keuntungan.
Ulama fikih berbeda pendapat tentang
bentuk-bentuk serikat yang termasuk dalam syirkah al-`uqud ini. Ulama
Mazhab Hanbali membaginya dalam lima bentuk, yaitu:
1)
Syirkah al-'Inan (penggabungan
harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak harus sama jumlahnya)
2)
Syirkah al-Mufawadah (perserikatan
yang modal semua pihak dan bentuk kerja sama yang mereka lakukan baik kualitas
dan kuantitasnya harus sama dan keuntungan dibagi rata)
3)
Syirkah al-Abdan (perserikatan
dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama)
4)
Syirkah al-Wujuh (perserikatan
tanpa modal)
5)
Syirkah al-Mudarabah (bentuk kerja
sama antara pemilik modal dan seseorang yang punya keahlian dagang, dan
keuntungan perdagangan dari modal itu dibagi bersama).
Ulama Mazhab Maliki dan Syafi'i membagi bentuk-bentuk syirkah al- `uqud
menjadi empat bentuk, yaitu: syirkah al-'inan, syirkah al-mufawadah,
syirkah al-abdan, dan syirkah al-wujuh. Sedangkan syirkah al-mudarabah,
yang dikemukakan oleh ulama Mazhab Hanbali, mereka tolak sebagai syirkah.
Ulama Mazhab Hanafi membagi syirkah kepada tiga bentuk.
yaitu: syirkah al-amwal (perserikatan dalam modafharta), syirkah
al-'amal (perserikatan dalam kerja), dan syirkah al-wujuh
(perserikatan tanpa modal). Menurut mereka, ketiga bentuk perserikatan ini bisa
masuk kategori al- 'inan dan bisa juga al-mufawadah.
Jadi dari keseluruhan, Ulama fikih mengemukakan
hukum masing-masing perserikatan yang termasuk dalam kategori syirkah al-'uqud
tersebut, sebagai berikut.
a.
Syirkah `inan
Yaitu perserikatan dalam modal (harta) dalam
suatu perdagangan yang dilakukan dua orang atau lebih dan keuntungan dibagi
bersama. Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa bentuk perserikatan seperti ini
adalah boleh.
Dalam perserikatan al-`inan ini, modal
yang digabungkan oleh masing-masing pihak tidak harus sama jumlahnya, tetapi
boleh satu pihak memiliki modal yang lebih besar dari pihak lainnya. Demikian
juga halnya dalam soal tanggung jawab dan kerja. Boleh saja satu pihak
bertanggung jawab penuh terhadap perserikatan itu, sedangkan pihak lain tidak
bertanggung jawab. Keuntungan dari perserikatan ini dibagi sesuai dengan
kesepakatan bersama, sedangkan kerugian yang diderita menjadi tanggung jawab
orang-orang yang berserikat sesuai dengan persentase modal saham masing-masing.
Dalam hal ini ulama fikih membuat kaidah, "Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan
dan kerugian sesuai dengan modal masing-masing pihak.". [24]
Syarat-syarat keabsahanya:
o
Hendaknya syarikat dilakukan sesama kaum muslim
o
Besarnya modal dan bagian para sekutu harus diketahui
o
Keuntungan harus dibagi berdasarkan jumlah saham
o
Jika sahamnya berupa uang, namun ada seseorang mempunyai komoditi ingin
ikut dalam syirkah, maka komoditinya dihargai dengan uang sesuai dengan
harga pada hari itu, karena komoditi itu tidak diketahui dan berinteraksi
dengan sesuatu yang tidak diketahui nilainya itu dilarang syariat karena
menyebabkan penyianyiaan hak dan memakan harta manusia dengan batil.
o
Pekerjaan harus diatur sesuai dengan banyak tidaknya saham sama seperti
dalam pembagian keuntungan dan kerugian.
Didalam kitab karangan Syaikh ‘Ali Ahmad Al
Jurjawi dikatakan bahwa, setelah Rasulullah SAW diutus menjadi rasul, kala
itu masyarakat sudah mempraktekkan syirkah jenis ini, namun Rasulullah SAW
tidak pernah melarang dan mengingkari apa yang mereka lakukan itu. Padahal
pengakuan seperti ini adalah merupakan salah satu dalil dari sunah. Karena
akad-akad ini memang dilakukan untuk kemaslahatan manusia pada setiap masa dan
di setiap tempat lantaran kebutuhan mereka untuk mengembangkan hartanya.[27]
b.
Syirkah Mufawadhah
Menurut bahasa, syirkah ini dinamakan syirkah
mufawadhah karena adanya persamaan dalam modal, keuntungan, pengelolaan harta,
dan lain-lain. Dalam al-Hidaayah disebutkan, “karena syirkah ini adalah
kerjasama dalam semua jenis perdagangan, dimana masing-masing pihak menyerahkan
urusan syirkah secara penuh kepada pihak lain”.[28]
Sedangkan menurut istilah yaitu perserikatan
dua orang atau lebih pada suatu objek, dengan syarat masing-masing pihak
memasukkan modal yang sama jumlahnya, serta melakukan tindakan hukum (kerja)
yang sama, sehingga masing-masing pihak dapat bertindak hukum atas nama
orang-orang yang berserikat tersebut.
Dalam perserikatan ini, menurut ulama Mazhab
Hanafi dan Zaidiah, tidak dibolehkan modal salah satu pihak lebih besar dari
pihak lain, dan keuntungan untuk satu pihak lebih besar dari keuntungan yang
diterima mitra serikatnya. Demikian juga dalam masalah kerja. Masing-masing
pihak harus sama-sama bekerja, tidak boleh salah satu pihak bebeda dan pihak
lainnya tidak bekerja.
Ulama fikih menyatakan bahwa yang menjadi unsur
penting dalam perserikatan ini adalah, baik dalam masalah modal, kerja, maupun
keuntungan, masing-masing pihak yang mengikatkan diri dalam perserikatan ini
mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Apabila modal, kerja, dan keuntungan
masing-masing pihak berbeda, maka menurut mereka, perserikatan ini berubah
menjadi perserikatan al-'inan.
Oleh sebab itu, dalam perserikatan al-mufawadah,
jika salah satu pihak yang berserikat melakukan suatu transaksi untuk
perserikatan, setelah melakukan musyawarah dengan mitra serikatnya, maka
transaksi itu sah, karena ketika itu ia bertindak atas nama orang-orang yang
berserikat dan merupakan wakil dari pihak lainnya.
Unsur terpenting dalam bertindak hukum terhadap
harta serikat adalah bahwa masing-masing pihak hanya boleh melakukan suatu
transaksi apabila mendapat persetujuan dari pihak lain. Apabila salah seorang
melakukan tindakan hukum tanpa persetujuan pihak lain, maka transaksi tersebut
tidak sah. Terhadap hukum bentuk perserikatan ini terdapat perbedaan pendapat
ulama fikih.
Ulama Mazhab Hanafi dan Zaidiah menyatakan
bentuk perserikatan seperti ini dibolehkan. Alasan yang mereka kemukakan adalah
sabda Rasulullah SAW: “Jika kamu melaksanakan mufawadah, maka lakukanlah
dengan cara yang baik... dan lakukanlah mufawadah, karena akad seperti ini
membawa berkah” (HR. Ibnu Majah).
Dalam hadis lain dikatakan: “Tiga (bentuk
usaha) yang mengandung berkat, yaitu: jual beli yang pembayarannya bisa
ditunda, mufawadah. dan mencampur gandum dengan jelai (untuk dimakan) bukan
untuk diperjual belikan” (HR. Ibnu Majah).
Selanjutnya, ulama Mazhab Hanafi dan Zaidiah
menyatakan bahwa perserikatan seperti ini telah memasyarakat di seluruh wilayah
Islam dan tidak seorang ulama pun yang mengingkarinya. Akan tetapi, ulama
Mazhab Maliki tidak membolehkan bentuk perserikatan al-mufawadah
seperti yang dipahami oleh ulama Mazhab Hanafi dan Zaidiah di atas. Menurut
mereka, perserikatan al-mufawadah bisa diangap sah apabila masing-masing pihak
yang berserikat dapat bertindak hukum secara mutlak dan mandiri terhadap modal
kerja, tanpa minta izin dan musyawarah dengan mitra serikatnya, baik mitra
serikat itu berdua di tempat maupun sedang di luar kota. Apabila salah satu
pihak melakukan suatu transaksi, maka ia tidak perlu minta persetujuan mitra
serikatnya dan mitra serikatnya itu terikat dengan transaksi yang telah dibuat
tersebut. Apabila masing-masing pihak yang berserikat tidak bebas melakukan
transaksi, maka perserikatan ini sama dengan perserikatan al-'inan, bukan
lagi perserikatan al-mufawadah.
Ulama Mazhab Syafi'i dan Hanbali menilai bahwa
bentuk serikat al-mufawadah seperti yang dikemukakan ulama Mazhab Hanafi
dan Zaidiah di atas tidak boleh, karena sulit untuk menentukan prinsip kesamaan
modal, kerja, dan keuntungan dalam perserikatan tersebut, di samping tidak satu
dalil sahih pun yang membolehkan bentuk perserikatan seperti itu. Adapun hadis
yang dijadikan dasar oleh ulama Mazhab Hanafi dan Zaidiah untuk mendukung
keabsahan perserikatan al-mufawadah yang mereka kemukakan adalah hadis daif
(lemah), karena tidak ada indikasi yang mendukung bahwa hadis itu terkait
dengan syirkah al-mufawadah yang mereka kemukakan. Akan tetapi. mereka
membolehkan syirkah al-mufawadah dalam pengertian yang dikemukakan ulama
Mazhab Maliki.[29]
Adapun syarat-syarat dari Syirkah Mufawadhah:
1.
Semua anggota syirkah mempunyai kecakapan melalui transaksi kafalah
(jaminan)
2.
Persamaan dalam jumlah modal
3.
Anggota syirkah mufawadah tidak boleh memiliki harta selain harta syirkah
4.
Syirkah bergerak dalam bidang perdagangan pada umumnya
5.
Dilakukan dengan lafal mufawadah atau sesuatu yang dapat menggantikannya
sesuai dengan maksud.
Jika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi,
syirkah tersebut menjadi syirkah ‘inan karena mufawadah mengandung ‘inan dan
ziyadah.[30]
c.
Syirkah abdan
Yaitu perserikatan yang dilaksanakan oleh dua
pihak untuk menerima suatu pekerjaan, seperti pandai besi, memperbaiki
alat-alat elektronik, binatu, dan tukang jahit. Hasil atau imbalan yang
diterima dari pekerjaan itu dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan mereka
berdua. Terhadap boleh atau tidaknya bentuk perserikatan ini pun
diperselisihkan ulama fikih.
Menurut ulama Mazhab Maliki, Hanafi, Hanbali,
dan Zaidiah hukumnya boleh, karena tujuan utama perserikatan ini adalah mencari
keuntungan dengan modal kerja bersama. Alasan mereka adalah riwayat dari Ibnu
Mas'ud, Ammar, dan Sa'd. Ketiga sahabat ini melakukan suatu perserikatan dalam
Perang Badr (tahun ke-2 H) untuk bekerja sama mendapatkan harta rampasan
perang. Ibnu Mas'ud mengatakan, "Saya dan Ammar tidak mendapatkan apa-apa,
sedangkan Sa'd mendapatkannya. Ketika itu Rasulullah SAW tidak mengingkari
perserikatan kami itu" (HR. Abu Dawud, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu
Ubaidah).
Namun, ulama Mazhab Maliki mengajukan satu
syarat untuk keabsahan perserikatan ini, yaitu bahwa kerja yang dilakukan oleh
orang yang berserikat ini harus sejenis, satu tempat, serta hasil yang
diperoleh dibagi menurut kuantitas kerja masing-masing.
Misalnya, perserikatan dalam menjahit baju
orang atau menerima upah jahitan. Masing-masing pihak harus mengerjakan bagian
pekerjaan yang terkait dengan penjahitan baju tersebut; sekalipun jenis yang
dikerjakan tidak sama. Misalnya. satu orang menggunting baju sesuai ukuran
pemesan dan satu orang lagi menjahitnya. Sekalipun berbeda jenis pekerjaan
yang dikerjakan masing-masing pihak, namun pekerjaan itu masih dalam rangka
menyelesaikan penjahitan baju tersebut.
Menurut ulama Mazhab Syafi'i, Syiah Imamiah,
dan Zufar bin Hudail (ahli fikih Mazhab Hanafi), perserikatan seperti ini
hukumnya tidak sah, karena yang menjadi objek perserikatan adalah harta/modal,
bukan kerja. Di samping itu, kerja yang dilakukan dalam perserikatan ini tidak
dapat diukur, sehingga membawa kemungkinan terjadinya penipuan dan pada
akhirnya membawa kepada perselisihan.[31]
Hukum-hukumnya:
o
Masing-masing dari sekutu berhak meminta gaji dan menerimanya dari pihak
yang mengontrak.
o
Jika salah satu dari dua sekutu sakit atau berhalangan dari kerja karena
udhur syar`i, maka apa yang diperoleh sekutu lainya tetap dibagi bersama
keduanya.
o
Jika salah satu dari kedua sekutu absen kerja dan sakit hingga waktu yang
lain, maka sekutu yang sehat berhak menunjuk orang lain sebagai pengganti
sekutu yang berhalangan tersebut, kemudian gajinya tetap menjadi jatah sekutu
yang sakit atau sekutu yang absen tersebut.
o
Jika salah satu dari kedua berhalangan hadir, maka sekutu satunya berhak
membatalkan syarikah.[32]
[33]
d.
Syirkah Wujuh
Ialah dua orang atau lebih bersekutu membeli
dan menjual suatu barang dengan jabatan keduanya, dan keuntungan dibagi kepada
keduanya. Jika ada kerugian, maka dibagi antara keduanya seperti halnya
pembagian keuntungan.[34] [35]
Sedangkan di dalam Ensiklopedi Hukum Islam
diterangkan bahwa syirkah wujuh yaitu serikat yang dilakukan dua orang atau
lebih yang tidak punya modal sama sekali, dan mereka melakukan suatu pembelian
dengan kredit serta menjualnya dengan harga kontan; sedangkan keuntungan yang
diperoleh dibagi bersama.
Di zaman sekarang, perserikatan ini mirip
makelar dan banyak dilakukan orang. Dalam perserikatan seperti ini, pihak yang
berserikat membeli barang secara kredit, hanya atas dasar suatu kepercayaan, kemudian barang yang mereka kredit itu mereka
jual dengan harga tunai, sehingga mereka meraih keuntungan. Hukum perserikatan
seperti ini pun diperselisihkan ulama fikih.
Ulama Mazhab Hanafi, Hanbali, dan Zaidiah
menyatakan bahwa perserikatan seperti ini hukumnya boleh, karena dalam
perserikatan ini masing-masing pihak bertindak sebagai wakil dari pihak lain,
sehingga pihak lain itu pun terikat pada transaksi yang sudah dilakukan mitra
serikatnya. Di samping itu, perserikatan seperti ini banyak dilakukan orang di
berbagai wilayah Islam, dan tidak ada ulama fikih yang menentangnya.
Akan tetapi, menurut ulama Mazhab Maliki,
Syafi'i, az-Zahiri dan Syiah Imamiah, perserikatan seperti ini tidak sah dan
tidak dibolehkan. Alasan mereka adalah objek perserikatan itu adalah modal dan
kerja, sedangkan dalam serikat al-wujuh tidak demikiam baik modal maupun
kerja dalam perserikatan ini tidak jelas. Modal orang-orang yang mengikatkan
diri dalam syirkah al-wujuh tidak ada, bentuk kerjanya pun tidak jelas.
Oleh sebab itu, transaksi seperti ini termasuk transaksi terhadap sesuatu yang
tidak ada (al-ma'dum) yang dilarang oleh syarak.[36]
Selain itu di dalam Ensiklopedi Fiqih
Muamalah juga dijelaskan bahwa pendapat yang valid yaitu boleh mengadakan syirkah
wujuh yang mendasarkan pada pekerjaan, yaitu jual beli dan tidak mengandung
unsur gharar. Pekerjaan yang masih bersifat spekulatif tidak menghalangi
keabsahan syirkah karena pekerjaan dalam semua jenis syirkah tidak
diketahui dan bersifat spekulatif. Yang penting pembagian keuntungannya telah
diketahui. Kaum muslimin juga telah mempraktekkan syirkah seperti ini karena
mengandung kemaslahatan bagi individu dan masyarakat, sedangkan islam sendiri
menganjurkan kaum muslimin supaya menjaga kemaslahatan.[37]
Adapun hikmah dan manfaat dari jenis syirkah
ini, yaitu dapat mengangkat kemiskinan dari orang-orang fakir serta dapat
menyebabkan orang-orang kaya mendapat pahala. Dengan begitu, kefakiran akan jauh dari keduanya, sebab-sebab
penghidupan pun menjadi terpenuhi oleh keduanya.[38]
e. Syirkah mudarabah
Yaitu persetujuan antara pemilik modal dari
seorang pekerja untuk mengelola uang dari pemilik modal dalam perdagangan
tertentu, yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.
Sedangkan kerugian yang diderita menjadi tanggung jawab pemilik modal saja.
Menurut ulama Mazhab Hanbali, yang menganggap al-mudarabah
termasuk salah satu bentuk perserikatan, ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi dalam perserikatan ini.
Syarat-syarat tersebut adalah:
a.
Pihak-pihak yang
berserikat cakap bertindak sebagai wakil
b.
Modalnya
berbentuk uang tunai
c.
Jumlah modal
jelas
d.
Diserahkan
langsung kepada pekerja (pengelola) dagang itu setelah akad disetujui
e.
Pembagian
keuntungan dinyatakan secara jelas pada waktu akad
f.
Pembagian
keuntungan diambilkan dari hasil perserikatan itu, bukan dari harta lain.
Penentuan jumlah bagian untu pekerja dari laba
yang dihasilkan ada di tangan kedua belah pihak. Seandainya pemilik modal
berkata kepada si pekerja “berniagalah dengan uang ini dan keuntungannya kita
bagi bersama”, maka setiap pihak mendapatkan setengan dari laba. Akan tetapi
jika pemilik modal berkata kepada pekerja, “berniagalah dengan harta ini dan
bagian saya adalah tiga perempat (3/4) atau sepertiga (1/3) dari labanya”, atau
“berniagalah dengannya, dan untukmu tiga perempat (3/4) atau sepertiga (1/3)
dari labanya.” Maka, akad mudharabah tersebut sah dengan semua ini, karena
dengan diketahuinya bagian salah satu pihak, maka ia pun mendapatkan bagiannya
tersebut, dan sisanya adalah untuk pihak yang lain, karena labanya adalah milik
mereka berdua.[39]
Jumhur ulama (Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i,
az-Zahiri, dan Syiah Imamiah) tidak memasukkan transaksi al-mudarabah
sebagai salah satu bentuk perserikatan, karena al-mudarabah merupakan akad tersendiri dalam bentuk
kerja sama lain, dan tidak dinamakan dengan perserikatan.[40]
Akan tetapi di dalam Ensiklopedi Fiqih
Muamalah fuqaha’ sepakat diperbolehkannya syirkah mudharaah.
Kebolehan ini juga berdasarkan ijma’ yang disandarkan kepada ayat-ayat
al-Quran dan hadits-hadits Nabi SAW. Disamping itu, umat manusia sangat
membutuhkannya karena tidak semua orang yang mempunyai harta memiliki keahlian
dalam mendayagunakan dan mengembangkan hartanya. Begitu pula sebaliknya, tidak
semua orang yang mampu mengembangkan harta dan melakukan pekerjaan mempunyai
modal. Dengan demikian, eksistensi syirkah mudharabah dapat
merealisasikan kemaslahatan kedua belah pihak.[41]
h. Macam-Macam Syirkah di Era Modern
Syirkah (perusahaan) terbagi dari sisi pembentukanya
kepada dua bagian yaitu, perusahaan perorangan dan perusahaan
permodalan/kapital.
1.
Perusahaan perorangan, yaitu yang nampak didalamnya pribadi-pribadi saat
pembentukannya, sekira yang dijadikan ukuran adalah pribadi yang bersangkutan.
· Macam-macam perusahaan perorangan
a.
Perusahaan
patungan, yaitu perusahaan dimana dua orang atau lebih
melakukan kesepakatan akad untuk tujuan perniagaan dan didalamnya terdapat
seluruh orang yang bersekutu di mana mereka melakukan komitmen kerja sama
mengenai seluruh peraturan perusahaan di dalam harta, yang bersifat umum dan
khusus.
b.
Perusahaan
patungan terbatas, yaitu perusahaan dimana satu orang atau lebih
melakukan kesepakatan disatu sisi dan mereka bertanggung jawab secara
bersama-sama di dalam seluruh harta mereka tersebut dari utang-utang perusahaan
dan administrasi perusahaan. Mereka dijuluki dengan pelaku persekutuan bersama.
Perusahaan patungan terbatas juga dapat terlaksana dengan adanya satu orang
yang bersekutu atau lebih dimana mereka pemilik bagian-bagian tertentu dari
asset perusahaan yang ada dan mereka tidak meminta keuntungan kecuali sesuai
dengan ukuran bagian harta masing-masing dan mereka tidak masuk ke dalam
administrasi perusahaan dan mereka di juluki dengan pelaku perusahaan patungan.
c.
Perusahaan
join swasta, yaitu perusahaan yang dilakukan oleh orang-orang yang
bersekutu saja dimana tidak ada wujud bagi sosok lainya. Barangsiapa melakukan
kesepakatan dari orang-orang yang bersekutu di dalam perusahaan join swasta ini
dengan orang lain, maka hanya pihak-pihak yang melakukan kerjasama itulah yang
bertanggung jawab sementara keuntungan dan kerugian dibagi di antara mereka
sesuai dengan kesepakatan.[42]
2. Perusahaan permodalan/kapital, yaitu perusahaan
yang unsur pribadinya tidak penting. Sesungguhnya unsur yang paling urgent
(penting) adalah harta/uang dalam mengeksploitasi perusahaan.
· Macam-macam perusahaan kapital
a.
Perusahaan
perorangan dengan modal bersama,
yaitu perusahaan yang didalamnya di bagi pembagian modalnya kedalam saham-saham
yang memiliki nilai sama dan masing-masing penanam modal memiliki sejumlah
saham.
b.
Perusahaan
patungan dengan saham, yaitu perusahaan yang mirip dengan perusahaan
patungan terbatas karena didalamnya terdapat dua unsure pelaku persekutuan
yaitu pelaku persekutuan bersama dan pelaku persekutuan patungan dimana mereka
tidak meminta penghasilan kecuali sesuai dengan bagian harta mereka yang ada
dan mirip dengan perusahaan patungan karena pembagian porsi modal mereka dibagi
dalam bentuk saham.
c.
Perusahaan
Perseorangan Terbatas (PT), yaitu perusahaan yang memiliki karakter persekutuan, akan tetapi
ia memiliki perbedaan bahwa perseorangan terbatas menghilangkan banyak aturan
perusahaan patungan dan yang tersisa adalah tangung jawab orang-orang yang
bersekutu didalamnya yang tebatas dengan jumlah modal yang mereka miliki.
Di sana terdapat jenis perusahaan lain yang
memadukan antara karakter perusahaan sipil dengan perusahaan perniagaan.
Diistilahkan dengan perusahaan sipil yang berbentuk perniagaan. Hal seperti ini
apabila perusahaan sipil mengambil salah satu bentuk perusahaan dagang seperti perusahaan patungan atau
perseorangan terbatas.
Seluruh jenis perusahaan modern di atas sah
hukumnya sebeb yang di jadikan dasar bahwa prinsip dasar muamalat adalah hukum
boleh. [43]
i. Pencatatan Transaksi Syirkah
Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4
Madzhab menerangkan bahwa pencatatan transaksi
syirkah dianjurkan karena sebagai dokumentasi, tindakan preventif, dan
upaya untuk menghindari pertikaian dan perpecahan di antara anggota-anggota syirkah.
Demikian ini dalam rangka menambah kepercayaan. Dalam undang-undang modern,
penulisan transaksi syirkah merupakan keharusan formal. Adapun dalam
undang-undang syirkah Saudi penulisan adalah suatu kewajiban sehingga jika
tidak ada dokumen tertulis, seseorang tidak boleh mengklaim sebagai anggota syirkah
di hadapan orang lain.
Ketika kontrol agama terhadap pribadi semakin
melemah, dan para penjahat semakin kaya strategi, pendapat yang mewajibkan
adanya dokumentasi tercatat dalam transaksi syirkah merupakan hal yang relevan
dalam upaya merealisasikan kemaslahatan dan sebagai bentuk antisipasi terhadap
timbulnya kejahatan. Namun demikian, pencatatan bukan termasuk rukun syirkah
karena rukun adalah bagian dari substansi sesuatu (syirkah), sedangkan
pencatatan bukanlah bagian dari substansinya, tetapi merupakan sesuatu di luar
substansi transaksi.[44]
j. Berakhirnya Akad Syirkah
Ulama fikih mengemukakan beberapa hal yang
dapat membatalkan atau menunjukkan berakhirnya akad syirkah secara umum, di
samping ada juga hal-hal khusus yang menjadi penyebab batal/berakhimya
masing-masing bentuk perserikatan.
Hal-hal yang membatalkan atau menyebabkan
berakhirnya suatu akad perserikatan secara umum adalah sebagai berikut.
a.
Salah satu pihak mengundurkan diri, karena menurut para ahli fikih, akad
perserikatan itu tidak bersifat mengikat, dalam artian boleh dibatalkan.
b.
Salah satu pihak yang berserikat meninggal dunia.
c.
Salah satu pihak kehilangan kecakapannya bertindak hukum, seperti gila
yang sulit disembuhkan.
d. Salah satu pihak murtad (keluar dari agama
Islam) dan melarikan diri ke negeri yang berperang dengan negeri muslim; karena
orang seperti ini dianggap sebagai sudah wafat.
Kemudian ulama fikih juga mengemukakan hal-hal
yang membuat berakhirnya akad perserikatan secara khusus, jika dilihat dari
bentuk perserikatan yang dilakukan, yaitu sebagai berikut.
a. Dalam syirkah al-amwal, akad
perserikatan dinyatakan batal apabila semua atau sebagian modal perserikatan
hilang, karena objek dalam perserikatan ini adalah harta. Dengan hilangnya harta perserikatan,
berarti perserikatan itu bubar.
b.
Dalam syirkah al-mufawadah, modal masing-masing pihak tidak sama
kuantitasnya, karena al-mufawadah itu sendiri berarti persamaan, baik
dalam modal, kerja, maupun keuntungan yang dibagi.[45]
Disebutkan dalam referensi lain bahwa, Syirkah
akan berakhir apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
a.
Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang
lainnya, sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela antar
kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah
satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukkan pencabutan kerelaan
syirkah oleh salah satu pihak
b.
Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian
mengelola harta) baik karena gila atau karena alasan lainnya
c.
Salah satu pihak meninngal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih
dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus
pada anggota-anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota yang
meninngal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan
perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
d.
Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampunan, baik karena boros yang
terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab yang
lainnya.
e.
Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas
harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Mahdzab Maliki,
Syafi’i dan Hanbali. Hanafi berpendapat bahwa keadaan bangkrut itu tidak
membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan
f.
Modal anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila
modal tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga masih dapat
dipisah-pisahkan lagi, maka yang menanggung resiko adalah pemiliknya sendiri.
Apabila harta lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa
dipisah-pisahkan lagi, maka menjadi resiko bersama. Kerusakan yang terjadi
setelah dibelanjakan, menjadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa harta,
syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.[46]
[1] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet.
1. Hlm. 261-262
[2] Samsudin Abi
Abdillah Muhammad bin Qosim al-Ghozy. Fathul Qorib al-Mujib. (Surabaya).
Hlm. 210
[3] Drs. H. Imron
Abu Amar. Fathul Qarib. (Kudus: Menara Kudus). Jld. 1. Hlm. 266-267
[4] Al Quran Surat
Al Kahfi [18] ayat 19
[5] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet.
1. Hlm. 262-264
[6] Dr. Musthafa
Diib Al-Bugha. Fikih Islam Lengkap: Penjelasan Hukum-hukum Islam Madzhab
Syafi’i. (Solo: Media Zikir), Cet 1
[7] Opcit. Ensiklopedi
Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. Hlm. 264
[8]
Imam Taqiyuddin
Abubakar Bin Muhammad Alhusaini. Kifayatul Akhyar. (Surabaya: CV Bina
Iman). Hlm. 629-630
[9] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta:
Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet. 1. Hlm. 268-269
[10] Ibid. Ensiklopedi
Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. Hlm. 268-269
[11] Ibid. Hlm. 264
[12] Zainuddin
Abdul Aziz Malibaari. Fathul Mu’in. (Haramain, 2006). Cet 1. Hlm. 80
[13] Drs. H. Aliy
As’ad. Fathul Mu’in. (Kudus: Menara Kudus), Jld. 2. Hlm. 281
[14] Sayyid, Sabiq,
Fiqih Sunnah 13, (Bandung, Pustaka percetakan offset,1987) hlm.176
[15] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet.
1. Hlm. 264-265
[17] Dr. Musthafa Diib Al-Bugha. At-Tadzhib fi Adillat
Matan Al-Ghayat wa At-Taqrib Al-Mansyur bi Matan Abi Syuja fi Al-Fiqh
Asy-Syafi’i. Surabaya. Hlm. 135-136
[18] Dr. Musthafa
Diib Al-Bugha. Fikih Islam Lengkap: Penjelasan Hukum-hukum Islam Madzhab
Syafi’i. (Solo: Media Zikir), Cet 1
[19] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet.
1. Hlm. 265-268
[20] Abdul Aziz
Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996). Cet 1. Hlm. 1711
[21] Prof. Dr.
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011). Hlm. 442
[22] Ibid. Fiqih
Islam 5. Hlm. 443
[23] Abdul Aziz
Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996). Cet 1. Hlm. 1712
[24] Ibid. Ensiklopedi
Hukum Islam. Hlm. 1712
[25] Fadhli Bahri, Lc. Ensiklopedi Muslim. (Jakarta:
Darul Falah, 2000). Cet 1. Hlm. 516-517
[26] Syaikh Abu
Bakar Jabir Al-Jaza’iri. Minhajul Muslim: Pedoman Hidup Ideal Seorang
Muslim. (Surakarta: Insan Kamil, 2009). Cet 1. Hlm. 645-646
[27] Syaikh ‘Ali
Ahmad Al Jurjawi. Hikmah dibalik Hhukum Islam: Bidang Muamalah. (Jakarta:
Mustaqiim, 2003). Cet 1. Hlm. 194
[28] Prof. Dr.
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011). Hlm. 445
[29] Abdul Aziz
Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996). Cet 1. Hlm. 1712-1713
[30] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet.
1. Hlm. 281
[31] Opcit Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Cet 1. Hlm. 1713
[32] Fadhli Bahri,
Lc. Ensiklopedi Muslim. (Jakarta: Darul Falah, 2000). Cet 1. Hlm.
517-518
[33] Syaikh Abu
Bakar Jabir Al-Jaza’iri. Minhajul Muslim: Pedoman Hidup Ideal Seorang
Muslim. (Surakarta: Insan Kamil, 2009). Cet 1. Hlm. 646-647
[34] Opcit. Ensiklopedi
Muslim. (Jakarta: Darul Falah, 2000). Cet 1. Hlm. 518
[35] Opcit. Minhajul
Muslim: Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim. Hlm. 647
[36] Abdul Aziz
Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996). Cet 1. Hlm. 1714
[37] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet.
1. Hlm. 285
[38] Syaikh ‘Ali
Ahmad Al Jurjawi. Hikmah dibalik Hhukum Islam: Bidang Muamalah. (Jakarta:
Mustaqiim, 2003). Cet 1. Hlm. 195
[39] Saleh Al-Fauzan.
Fiqih Sehari-Hari. (Jakarta: Gema Insani, 2005). Hlm. 469
[40] Abdul Aziz
Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996). Cet 1. Hlm. 1714
[41] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet.
1. Hlm. 287
[42] Abdullah bin
Abdurrahman Al Bassam, Thaudhih Al
ahkam min Bulugh Al Maram: Syarah Bulughul Maram, (Jakarta, Putaka
Azzam,2006). Jld. 4. Hlm.567
[43] Ibid. Thaudhih
Al ahkam min Bulugh Al Maram: Syarah Bulughul Maram. Hlm.567
[44] Miftahul Khairi ,S.Ag. Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009). Cet.
1. Hlm. 270
[45] Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi
Hukum Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Cet 1. Hlm. 1715